Selasa, 05 Agustus 2008

Moral dan Kekuasaan



Moral dan Kekuasaan


PERJALANANpartai-partai politik di Indonesia mengalami pasang surut yang luar biasa dalam beberapa tahun ini. Selain kepedulian terhadap konstituen (baca: masyarakat), juga partai politik ternyata lebih menyisakan kecenderungan untuk memperjuangkan kepentingannya. Alih-alih, partai politik senang “bertarung” dalam tataran wacana kekuasaan, dan jarang memasuki wilayah yang selama ini menjadi kebutuhan masyarakat.
Bagaimana dengan partai-partai Islam? Bisa dikatakan setali tiga uang, berbagai performance politik yang ditampilkan, termasuk komunikasi politik masih berada dalam “perebutan” hegemoni untuk mendulang simpati masyarakat. Kita cenderung menafikan gebrakan partai politik Islam yang santun bersuara dan bergerak pada tataran terbawah untuk melakukan pendampingan terhadap berbagai penderitaan yang dialami masyarakat.
Kecenderungan lain yang muncul adalah tampilnya konflik secara internal yang tidak mampu ditata-kelola para politisi secara lebih berenergi bagi keberlangsungan program-program partai. Partai hanya dikenal masyarakat ketika geriap pesta politik digelar. Setelah itu, partai seperti kehilangan nuansa, sunyi dan seolah-olah mati suri. Program-program yang diancangkan dalam berbagai rapat kerja atau pun juga “fatwa” kandidat yang hendak memimpin satu partai politik terkadang tak mampu terlihat nyata ketika partai itu berkibar.
Pada konteks ini, peran partai politik –termasuk berlabel Islam—sudah semestinya dikelola lebih pada konteks sosial, artinya, partai sudah waktunya digeser untuk tidak lagi melihat kepentingan masyarakat dalam skope yang lebih sempit, hanya berdasarkan ideologi yang ada. Karena sekali lagi, partai hanyalah sebagai alat agregasi dan penyalur aspirasi masyarakat untuk tujuan politik mereka yang lebih mulia, yakni bagaimana mereka dapat menggenggam harapan-harapan, bukan menggenggam mimpi-mimpi. Yang terjadi, adalah partai justru menjadi alat kepentingan elit untuk meraih harapan-harapan sesaat melalui kekuasaan. Di sini yang harus diantisipasi adalah bermainnya kelompok oligarkhi dalam partai politik Islam, ketika kepentingannya tidak terwujud, dan masyarakat menjadi legitimator untuk “merestui” kepentingannya. Bila konteks ini terjadi, apa bedanya partai politik Islam dengan lintah darat ?
Menurunnya kecenderungan terhadap partai-partai politik, termasuk partai politik Islam, sudah harus ditafsir bahwa partai-partai politik mengalami dilema paling akut, yakni mulai menipisnya kepercayaan politik masyarakat. Untuk itu, gaya dan metode yang selama ini selalu diagungkan partai politik Islam harus dirubah, harus ada shifting paradigm (pergeseran paradigma), bahwa partai politik Islam, semata-mata untuk kemaslahatan ummat dan masyarakat, bukan untuk kepentingan elit. Dalam konteks ini, maka, kehadiran partai politik Islam harus terus dikawal, ditata-kelola dan diperbaiki, sehingga dapat menjadi alat politik paling efektif untuk memperjuangkan kepentingan ummat dan masyarakat. (Roesly Djalil)



GENTA UTAMA

Penguasa, Moral dan Kekuasaan

Mentalitas dan perilaku penguasa, sering dicap merugikan rakyat. Kebijakan yang ditempuh kerap kali lebih menguntungkan perorangan, kerabat dan sejawat ketimbang kepentingan umum. Maraknya praktek KKN dari konvensional hingga yang canggih tidak sejajar dengan keseriusan pemerintah memberantasnya?

Kisah tua dari China —tentang Khong Hu Chu dan murid-muridnya, ketika melintasi hutan dalam sebuah perjalanan, mereka bertemu seorang Ibu sedang menangis. Padri yang bijak itu meminta muridnya bertanya kepada si Ibu. Kenapa Ibu sedih? Ibu itu menjawab “Anakku tersayang baru saja dimangsa harimau. Bahkan suami saya pun beberapa waktu lalu ketiban naas yang sama, dimangsa harimau “. Lalu murid itu memberi saran “Kalau di sini banyak harimau buas, sebaiknya ibu pindah ketempat lain”. Si ibu menggeleng tegas tak setuju. Kenapa? — “Karena disini tidak ada penguasa yang menindas” Jawab sang Ibu tegas.
Usai melihat adegan itu, Kong Hu Cu berkata, “Wahai murid-muridku, ingatlah bahwa kekuasaan yang menindas lebih berbahaya dari pada harimau”. Darsis Humah mengutip kisah ini dalam tulisannya “Kekuasaan” (Lihat: Horizon)
Adakah yang berubah dari wajah kekuasaan setelah kisah si Ibu, harimau dan Khong Hu Cu? Barangkali ya. Tapi perubahan diffiren dengan hukum sejarah, siklus yang berulang. Hingga kita, setelah belajar berabad-abad dari Gadjah Mada, Ken Arok juga Nuku, Banau, Babullah, Khairun, bahkan 62 tahun setelah Indonesia mrdeka — rupa kekuasaan dan penguasa belum bermetamorfosis menjadi pemimpin yang idel. Karena itu moral dan kekuasaan terus dicarikan titik temu, untuk menghindari watak kebuasan, eksploitatif dan tinggi hati, dan mentalitas destruktif lainnya.
Jika moralitas sebagai ekspresi dari sistem nilai yang diyakini, idealnya ia mampu mengarahkan perilaku individu yang bersangkutan pada koridor yang benar. Bila asumsi itu dijadikan dasar, maka perilaku sebagian penguasa dan elit politik saat ini bertentangan secara diameteral dengan nilai dasar (fundamental value) yang diyakini sebagai nilai luhur bangsa; nilai-nilai religuisitas dan kultural. “Moralitas itu masalah sikap hidup, sikap pribadi dari seseorang dan masalah moralitas ini mempunyai kaitan erat dengan masalah kultur”. Begitu pandangan Adnan Amal, Budayawan dan mantan Ketua Pengadilan Tinggi Maluku.
Moralitas elit kita adalah elit politik yang “miskin hati” kata Komarudin Hidayat sebagaimana dikutip oleh Dr. Zainuddin Maliki dalam bukunya “Politisi Busuk”. Buku ini dapat dijadikan rujukan untuk mengenali wajah elit Politik dan Penguasa kita. Dan elit adalah domain mereka yang dapat menentukan “hitam” atau “putih”nya nasib rakyat, masa depan daerah juga bangsa ­— lihatlah bagaimana persoalan yang menumpuk dan terasa langgeng, katakanlah kemiskinan, pengangguran, kebodohan, derajat kesehatan dan harapan hidup, penegakan hukum dan sebagainya, belum tertangani dengan benar . Sementara di level elit, rakyat melihat dengan kasat mata bagaimana kepentingan individu, kelompok, kerabat, dan sejawat terus dirumuskan, diperjuangkan, dipertahankan dengan cara apapun. Ali Albar mantan anggota DPRD-GR yang mengundurkan diri tahun 1986 karena menolak nilai semacam itu, berkata tegas “Bagi saya perilaku itu tidak cocok, tidak sesuai dengan yang semestinya. Karena rakyat sekarang setengah mati. Bagaimana mereka hanya mementingkan diri sendiri?”.
Mentalitas yang tidak mencitrakan kokohnya integritas, mudah dijumpai. Fenomena perilaku mengejar accesories kemewahan dan kebendaan lewat cara instan dan hasrat meraih status sosial, pangkat atau jabatan serta privileges tertentu, telah membiakkan budaya terabas, kebiasaan potong kompas dan senang mem-bypass. Fakta tentang munculnya raja-raja kecil di daerah sebagai sisi buruk pemanfaatan peluang otonomi daerah, menyusul raja-raja besar di pentas nasional makin memperkuat sinyalemen tentang indikasi ke arah itu. Fenomena ini kata Koentjaraningrat dalam bukunya Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan sebagai “mentalitas mencari jalan paling gampang, mentalitas menerabas, tanpa perlu bersusah payah menggapai keinginannya. Mentalitas yang merendahkan mutu, bernafsu mencapai tujuan dengan cara-cara yang tidak lazim”.
Secara kasuistik, merujuk Koentjaraningrat misalnya seseorang dalam waktu sekejap, hanya menduduki posisi atau jabatan tertentu, dengan kewenangan yang biasa-biasa saja — begitu mudah mengoleksi beragam aksesori kemewahan dan sejumlah property. Ironisnya hal itu tidak sesuai dengan pendapatan atau gajinya, juga kapisitas SDMnya.
Meskipun dibentuk banyak lembaga pengawasan di internal pemerintahan maupun yang independen. Katakanlah Inspektorat, bawasda, BPK, KPK, bahkan jauh sebelum itu ada Waskat (pengawasan melekat), wajah pemerintahan yang bersih dan berwibawa belum kunjung nyata. “Inilah Negeri dengan seribu aturan, seribu undang-undang, ada seribu lembaga mengawal dan pelaksana undang-undang, tetapi juga di dalamnya ada 1001 penyimpangan” seloroh Gufran.
Mengapa hal itu terjadi? Pertama, proses mengawal sistem tidak cukup kuat, dalam pengertian hirarkis atau jenjang perjenjang. Kedua, soal moralitas (ini tidak langsung bersentuhan dengan soal keberagamaan), tetapi pada skala individual, berkaitan dengan orentasi hidup seseorang, yang kadang mengalami dilema orientasi antara menjadi atau memiliki (mengutip Erich Fromm), Menjadi ini tidak dalam pengertian capaian posisi sosial tertentu, tetapi dia bisa menjadi bermanfaat bagi banyak orang, memberi nilai baik bagi orang di sekitarnya. Terang Gufran. Sementara Ali Albaar melihat soal itu akibat karena elit penguasa, terlalu hubbuddunyâ, mencintai dunia hingga mengabaikan nilai moralitas.
Antitesa terhadap pernyataan Kong Hu Cu adalah bagaimana mengubah penguasa menjadi pemimpin atau kekuasaan menjadi kepemimpinan. Karena kepemimpinan konotatif dengan otoritas penebar kebaikan. Niccolü Machiavelli, — yang konsepnya oleh banyak kalangan sering dikutip secara tidak utuh — dalam Diskursus, 2003:11 menulis “Sebuah Republik sesungguhnya disebut beruntung jika ia memproduksi seorang manusia yang begitu bijak sehingga dapat membuat hukum-hukumnya terorganisasi dengan satu cara tertentu, sehingga kota tersebut dapat hidup tenteram di bawahnya”.
Pertanyaannya bagaimana memproduk seseorang yang bijak sekaligus penebar ketenteraman? Gufran A. Ibrahim salah seorang penggagas pentingnya pluralisme dan kearifan lokal mengatakan “Pemimpin yang berkulitas lahir di tengah masyarakat yang juga berkualitas”. Jika ditelisik lebih jauh, kualitas dimaksud bermakna luas, meliputi aspek pola pikir, orientasi nilai yang dianut, kemandirian hidup, dan seterusnya, kesemuanya itu berpengaruh terhadap kemerdekaan menentukan pilihan tentang layak tidaknya seseorang sebagai pemimpin yang memenuhi kualifikasi baik dan bijak — sebuah kebermutuan yang simetris antara yang memilih dan yang dipilih dalam proses yang demokratis dan juga bermutu.n (sofyan, ilham,mansyur, iksan)


Menyusuri Jejak Moral dalam Akar Kebudayaan Lokal
Kebudayaan lokal punya banyak pengalaman melahirkan informal leader dengan banyak kelebihan. Meskipun informal leader itu tidak menempuh pendidikan formal seperi formal leader saat ini.

Kebudayaan adalah seperangkat sisitem nilai yang dinamis dan dialektis. Sebagai mata air peradaban, ia mengalir, berhulu dan bermuara pada capaian kualitas karya, rasa dan karsa. Produk kebudayaan suatu bangsa adalah tolok ukur tingkat kemampuan dan pembudidayaan kreatifitas, akal budi dan nalar komunitas itu.
Moloko Kie Raha (kini Maluku Utara-red), adalah komunitas yang terbukti mampu mendayagunakan ketiga aspek diatas hingga menempatkan empat kesultanan di wilayah ini menjadi diperhitungkan dalam pergaulan nusantara, bangsa Arab, China, Melayu bahkan dunia. Sebuah pergumulan dalam interaksi global berabad-abad lamanya, memberikan pengayaan terhadap kebudayaan lokal. Perlu ditekankan, dalam pergumulan global yang sarat kepentingan, para Shultan Maloko Kie Raha membuktikan kualitasnya yang luar biasa dalam melindungi kepentingan rakyat dan menjaga integrasi wilayahnya.
Meski terbatasnya literatur dan narasi kebudayaan lokal, tetapi ada rekaman jejak kepemimpinan era kejayaan Moloko Kie Raha, yang diakui memiliki prestasi adiluhung. Mampu menyusun konsep pemeritahan dan ketatanegaraan yang relatif baik, tata hukum, sosial, politik, dan ekonomi yang memihak rakyat. Era di mana telah dikenal distribusi kewenangan atara Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif. Di bidang ekonomi telah dikenal pemeberdayaan ekonomi berbasis kewilayahan dan resources. Pertahanan keamanan dan teknologi militer yang fungsional, dan sebagainya. Kesemuanya untuk menjamin kesejahteraan rakyat dalam makna yang luas. Kenapa? Karena jika tidak, kejayaan kesulthanan itu tak mungkin berumur panjang.
Kekuasan dan pemimpin untuk rakyat adalah ciri informal leader dari produk kebudayaan lokal dimaksud. Pemimpin yang menggunakan kekuasaan sebagai instrumen penyejahteraan, tidak untuk dirinya. Tidak mengeksploitasi jabatan dan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, keluarga atau kelompok. Bahkan, “Bukan imam kasih makan Hi. Muhammad tetapi Hi. Muhammad kasih makan imam” demikian kisah orang tua Adnan Amal. Jadi, bukan karena jabatan orang hidup, tetapi bagaimana seseorang memaksimalkan potensi yang dimilikinya untuk fungsionalisasi jabatan dan kewenangan itu.
Persentuhan kebudayaan lokal, regional dan global, telah memberikan pengayaan dalam kebudayaan Moloku Kie Raha lewat proses asimilasi dalam waktu lama. Lalu membentuk khasanah kebudayaan Maloku Kie Raha yang berakar pada falsafah dan kearifan lokal, religiusitas Islam dan filsafat teologis lainnya. Dari nilai- nilai positif itu, melahirkan informal leader dengan integritas moral yang mengagumkan, meskipun tak pernah mengecap pendidikan formal seperti penguasa saat ini. Di sinilah seruan Adnan Amal “Kita harus kembali ke kepribadian kita masing-masing, harus kembali ke kultur kita yang lama” terasa relevan. Karena kultur lama kita, menyimpan banyak nilai strategis. “Sebenarnya kalau di Ternate, itu dalam dola bololo, atau pepatah dan petiti-petiti kita, banyak mengandung unsur-unsur nilai positif” Ungkap Adnan Amal. Kenapa kita tak merawatnya? Padahal dengan memadukan nilai lama yang positif dan konsep baru yang menjanjikan, mungkin jadi solusi melahirkan pemimpin yang kapabel, kompitabel dan dekat dengan keseharian rakyat.
Bagaimana caranya? …”kita harus kembali kepada nilai- nilai ini kita harus gali dari percontohan yang di berikan oleh nenek moyang kita. Tegas Adnan Amal. (sofyan daud)

Mengintip Keteladanan di Ranah Kekuasaan

Dalam budaya paternalistik ketokohan seorang mempengaruhi orientasi dan perilaku masyarakat. Posisi, status sosial dan luasnya pengaruh menempatkan sang tokoh sebagai icon atau pusat perhatian. Sering dijumpai dilema ketika pada posisi demikian tokoh tak mampu menebar keteladanan.

Keteladanan adalah nilai-nilai kebaikan dalam diri seorang tokoh. Tokoh adalah simbol atau icon, jadi pusat perhatian dan orientasi. Status dan luasnya pengaruh sang tokoh, jadi bagian menentukan dalam menebar kebaikan dan keteladanan, meskipun tak seluruhnya begitu. Gufran A. Ibrahim, budayawan juga Purek I Universitas Khairun Ternate, meretas pandangan yang jujur “Tokoh bukan hanya mereka yang di atas (berstatus elit-red), tetapi juga mereka di kalangan bawah,” (orang kebanyakan-red). Ia mengajukan contoh — seorang nenek pedagang buah — waktu seorang calon pembeli bertanya “Apa buah yang ibu jual benar rasanya manis? Apa jawab sang nenek? “Oh, kalau mau yang manis, sama bibi yang di sebelah, punya saya kurang terlalu manis”. Tak ada pamrih atau ingin menonjolkan diri, ketika si nenek mengatakan itu. Dialog itu mengalir dengan tulus dan jujur apa adanya.
Nenek di atas adalah kisah tentang nasihat masa kanak-kanak kita di dusun-dusun sepi, ketika mata belum tersentuh teknologi TV hitam-putih. Wejangan orang tua di sela makan, atau ketika kita belajar menulis indah di bawah temaram pelita, menjelang tidur; “tong punya ya, tong punya, orang punya ya, dong punya” (ambillah bagian yang menjadi hak kita, berikan bagian yang menjadi hak orang lain). Wejangan yang jauh dari kesan menggurui, tanpa dalil ataupun argumentasi, tetapi mengena, tertanam kuat dalam ingatan hingga dewasa. Kalau toh, kini ada yang melupakannya, itu soal lain.
Banyak kisah teladan dalam Sejarah. Jika era kenabian ideal, setidaknya merujuk para khalifah. Di sana ada Umar bin Khattab yang memikul sekarung gandum tengah malam kepada rakyat, ketika dia tahu mereka sudah beberapa hari belum makan. Abubakar Asshiddiq, mengembalikan seluruh gajinya ke baitulmal setelah pensiun dari jabatannya. Umar bin Abdul Azis, begitu takut “korupsi” hingga tidak mau menggunakan sekadar pelita untuk pembicaraan keluarga. Itulah keteladan yang bersumber dari nilai-nilai transenden yang dipegang teguh. “Bicara keteladan, contohilah Rasulullah SAW, dan para sahabat, khususnya khulafaul rasyidin.” Seru Ustad Zainal, sapaan akrab warga Tidore kepada mantan hakim pengadilan Agama ini.
Juga ada kisah lain tentang Gandhi yang sabar dan penyayang. Bunda Theressa yang rela hidup bersama kaum miskin di Calcutta. Jeferson yang takut melukai hati rakyat, hingga dalam pidato purna bhakti-nya sebagai Presiden Amerika, ia tanyakan kepada rakyatnya (bahkan dunia) pernahkah ia menyusahkan atau mengambil hak rakyat? Bangsa kita punya record tersendiri soal tokoh-tokoh teladan. Hatta yang jenius tapi tidak ambisius, ketika visinya tak diapresiasi dengan baik, ia mengundurkan diri sebagai Wapres. M. Natsir yang cerdas tapi sederhana, Perdana Menteri RI yang rumahnya digang sempit dan berbecek ketika hujan. Ia kemana-mana lebih senang naik becak ketimbang mobil.
Melihat fakta paradoksal yang ada, sebagian rakyat tentu pesimis. Karena di satu sisi, seribu satu persoalan yang dihadapi rakyat, menuntut perhatian dan keseriusan elit memecahkannya. Di lain sisi, elit penguasa justeru sibuk mengkalkulasi kepentingannya mereka. Kepentingan rakyat baru disentuh Kalau di dalamnya bisa dititip kepentingan mereka. Ada yang asimetris antar pemimpin informal dengan pemimpin formal. “Pemimpin informal dipilih karena punya kelebihan-kelebihan tertentu, antara lain kepemimpinan, keelokannya, keteladanan dan sebagainya. Sementara pemimpin formil dipilih dengan pertimbangan syarat-syarat teknis misalnya tingkat pendidikan tidak terlalu peduli dengan aspek keteladanan”. Terang pak Amal.
Padahal para teologis dan moralis berpandangan kekuasaan yang didapati seseorang adalah amanah Tuhan melalui kepercayaan rakyat yang mesti ditunaikan sebaiknya. Jika tidak penguasa itu dicap mangkir dan khianat. Karenanya practices abiality kekuasaan merupakan wujud excelences sang pemimpin. Ia merupakan sesuatu yang agung. Suatu tanggung jawab yang terekspresi dari esensi nilai-nilai azali dan boleh dimaknai sebagai konteks moral. Kekuasaan dalam konstruk ini adalah ibadah dan orientasi pada kepentingan umum, mewujudkan kesejahteraan, keadilan, dengan cara-cara yang santun, egaliter dan fairness.
Disini problemnya. Sebagai bangsa yang mengklaim diri relijius, idealnya, konsepsi di atas mewarnai penyelenggaraan Negara. Namun jauh panggang dari api. Aset-aset sosial yang relijius-kultural, mengalami menggerusan yang hebat. Tersisa kini wajah kekuasaan dan penguasa (nasional maupun lokal), tak lebih dari mereka yang sering distigma lemah integritas dan identitasnya. “Mereka lebih mengutamakan kepentingan dunia dan melupakan akhirat. Kalau kekuasaan diyakini sebagai amanah, mustahil orang berani berkhianat” cecar Zainal Abidin, mantan Ketua Pengadilan Tinggi Agama Papua dan Maluku ini.
Keteladan sesungguhnya sesuatu yang sederhana — tentang bagaimana orang-orang “besar” melakukan hal-hal “sederhana” dan bagaimana orang-orang “kecil” melakukan hal-hal yang “luar biasa”. Lihatlah, bagaimana seorang pemimpin “besar” sekelas Bin Khattab memikul sekarung gandum dan menyambangi ummat yang lapar tengah malam, As Shiddiq yang ikhlas mendermakan seluruh gajinya ke baitulmal untuk kepentingan umum, Gubernur Abdul Aziz yang risih menggunakan lampu minyak untuk urusan keluarga, karena itu fasilitas Negara, minyaknya disubsidi dari jerih payah dan keringat rakyat. Seorang Hatta yang rela berhenti dari jabatan Wakil Presiden menghindari “benturan” gagasan dan konsep pembangunan juga Seorang Perdana Menteri, M. Natsir enjoy kemana-mana pakai sarung, sandal dan kendaraan favoritnya hanya becak.
Tentang orang-orang “kecil” yang luar biasa. Ingatlah kisah nenek penjual buah yang merawat kejujuran, dan tak takut kehilangan pembeli. Para orang tua di pedesaan yang kerjanya serabutan petani, nelayan tradisional, tukang batu, dan sebagainya—tetapi mampu sekolahkan anak hingga perguruan tinggi. Dalam keterbatasan, ada ethos dan energi moral yang terpelihara — rasa tanggung jawab yang tinggi. Mendorong hidup menjadi lebih baik. Itulah kearifan dan peneladanan. Dari latar macam itu, telah mengantarkan berlapis generasi yang kini bertaburan di etalase sosial, politik, ekonomi, Maluku Utara.
Bagaimana menjelaskan, elit penguasa yang lahir dari latar sosial penuh nilai kearifan: relijius-kultural semacam itu, mudah kehilangan orientasi nilai-nilai moral? “Ada semacam missing link, sehingga mereka mudah tergelincir dari nilai-nilai yang sebelumnya menjadi pegangan hidupnya” tukas pak Gufran.
“Karena pemimpin-pemimpin sekarang sudah tidak jujur. Sekarang orang pintar banyak, tetapi kejujurannya tidak ada”. Negara kita hancur. Ungkap Ali Albaar kesal. (sofyan daud).

Berguru Teladan pada Dua Ali

H. Zainal Abidin Ali dan H. Ali Albaar adalah dua contoh keteladanan. Satunya mantan pejabat birokrat, satunya lagi mantan akademisi-politisi. Keduanya pernah berada dalam kekuasaan, dan menjalankan amanah itu dengan sikap lurus.

Tak banyak yang tahu, Rumah sederhana di antara deretan rumah dinas salah satu instansi di simpang jalan A. Malawat dan jalan Kemakmuran Kota Tidore, pemiliknya adalah seorang mantan pejabat. Jauh dari kesan bahwa si empunya rumah adalah mantan pejabat selevel Kanwil. Rumah semi permanennya berlantai biasa tanpa keramik dengan meubeler amat sederhana, bahkan terbilang tua.
Di ruang tamu, sebuah meja kerja buatan tukang meubel lokal. Di sebelahnya kokoh lemari besar buatan tahun 1980-an. Di situ tersusun rapi ribuan buku. Dalam pandangan Zainal Abidin Ali, “Kekuasaan adalah amanah Allah SWT,” begitu komentarnya kepada Genta beberapa pekan lalu.
Ia juga menyentil pejabat, untuk selalu memegang nilai-nilai moral dan keteladanan. “Bagi yang muslim Rasulullah adalah teladan, karena kejujurannya. Kalau kekuasaan dilihat sebagai amanah tidak mungkin dikhianati. Jadi, harus sesuai antara niat, bicara dan perbuatannya,”ungkapnya.
Menurutnya, jika semua diniatkan untuk ibadah kepada Allah, maka dia tidak akan mungkin mengkhianati apa yang diamanatkan. “Apapun dan bagaimanapun situasinya, ada dua hal yang perlu dipertimbangkan. Yaitu dosa dan amal sholeh. Kedunya merupakan neraca pertimbangan bagi seorang yang memegang kekuasaan. Jadi, jangan dahulukan hak dan kepentingan pribadi, tapi utamakan kepentingan umum,” Zainal mengingatkan.
Di mata Zainal, kepemimpinan Rasulullah dan Khulafaul Rasyidin adalah rujukan keteladanan. “Mereka tegas menegakkan yang hak dan menentang yang bathil, jadi tempuhlah cara yang halal dan terpuji dalam menjalankan kekuasaan,” paparnya.
Kalau itu dilakukan, kata Zainal, kapanpun dan di manapun pasti diridhoi Allah, disanjung para pengikutnya, dan mendapat simpati rakyat,
Untuk membangun keteladan pemimpin dan penguasa yang amanah menurut mantan Ketua pengadilan tinggi agama Papua dan Maluku ini, penguasa muslim harus menjalankan kekuasaan sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasulullah.
Soal banyaknya penilaian kebijakan penguasa saat ini menguntungkan kelompok, kerabat atau sejawat, menurut Zainal Abidin, menyalahi janji dan sumpah jabatan. Dan menurutnya, sikap itu bertentangan dengan ajaran Islam.
Zainal merupakan sosok langka untuk ukuran mantan pejabat yang lain saat ini. Selama menjadi pejabat Zainal Abidin jauh dari perilaku “korup” Ia punya resep, Baca Al Qur’an dan Hadits serta meneladani Rasulullah dan Khulafaul Rasyidin. “Karena memandang jabatan itu adalah amanah, janganlah saya termasuk orang yang khianat dalam menjalankan itu,” lirihnya.
***
Jika Zainal Abidin Ali contoh keteladanan seorang birokrat, tak beda jauh dengan rekan se zamannya H. Ali Albaar, adalah contoh keteladanan seorang politisi. Tak banyak orang tahu Ali Albaar, adalah mantan politisi salah satu Partai Islam yang sangat vokal dan idealis semasa mudanya. Ketika menjadi salah satu anggota legislatif (DPR-GR), Ustazd Ali berani mengambil sikap bertentangan dengan kehendak penguasa dalam pemilihan Bupati Maluku Utara Waktu itu. “Waktu itu, semua anggota DPRD Kab. Maluku Utara hanya pendengar setia. “Yes man” saja. Pimpinannya bilang apa semuanya setuju. Salah atau benar tetap diterima. Itu kejadian 1968 kalau tidak salah. Ada pemilahan Bupati KDH Kab. Maluku Utara. Bagi saya, sebenarnya Prof. Yasin Muhammad yang menang, karena banyak mendapat dukungan DPRD. Tapi karena pemerintah dengan campur tangan militernya kuat, meminta dukungan dialihkan kepada (Alm) Yakub Mansyur. Waktu itu Ketua DPRD-GR (Alm) Samad Latif, bilang “suara kita semuanya dialihkan kepada Yakub Mansyur” Saya bilang tidak! Suara saya yang sudah ke orang lain tidak mungkin ditarik kembali. Itu sama saja dengan menjilat ludah!” Kisahnya dengan mata nyalang dan berapi-api.
Masih ada lagi cerita keteladanan beliau yang lain. Menolak disahkannya perda judi loto. “Saya mau semua ambil sikap tegas dan tolak judi Loto. Tapi banyak teman-teman setengah hati dan ragu-ragu. Saya kemudian mengundurkan diri dan mengembalikan semua fasilitas dewan berupa sepeda kumbang. Ketika gaji saya diantar. Saya tolak dan mengembalikan, karena sudah tidak berhak lagi,”kenangnya.
Ia juga mengecam pemimpin sekarang yang menurutnya tak jujur sehingga rakyat tak bisa sejahtera. “Negeri ini subur, potensinya banyak tapi kenapa tidak maju, rakyat tidak bisa sejahtera? Karena pemimpin-pemimpin sekarang sudah tidak jujur. Banyak yang pintar, tetapi tidak ada yang jujur. Negara ini bisa hancur.” Suaranya terdengar lantang.
Masyarakat tentu berharap keteladanan dua Ali ini bisa memunculkan banyak Ali-Ali lain yang memiliki keteladanan moral dan menjaga amanah ketika berada dalam kekuasaan.(Syar oesman, mansyur djamal)




Kolom & Opini

Kekuasaan
Darsis Humah

Dalam suatu perjalanan, Kong Hu Cu bersama murid-muridnya, bertemu dengan seorang perempuan tua yang sedang menangis di dekat sebuah batu. Sang Guru menyuruh seorang muridnya bertanya kepada perempuan itu, gerangan apa yang sedang dideritanya sehingga membuat wajahnya sayu , tatapannya kosong seakan tidak ada masa depan. Si Murid pengikut Kong Hu Cu itupun segera melaksanakan perintah Sang Guru. Ia memulai pertanyaan penuh selidik kepada Ibu tua, “gerangan apa yang membuat Ibu menangis?”. Ibu itu menjawab dengan penuh lara, “Anak saya baru saja meninggal, mati di tempat ini karena diterkam harimau”. Kemudian dengan terbata si Ibu itu melanjutkan, “Beberapa waktu yang lalu suami saya juga dibunuh oleh harimau di tempat yang sama”.
Murid sang pengikut Kong Hu Cu itu kemundian menukas dengan cepat, “mengapa Ibu tidak meninggalkan saja tempat ini karena banyak harimau ganas di sini?” Jawabnya. “Saya tidak pindah karena di sini tidak ada pemerintah yang menindas”. Mendengar jawaban itu, Kong Hu Cu berkata, “Wahai murid-muridku, ingatlah bahwa kekuasaan yang menindas lebih berbahaya daripada harimau”.
Kiranya kita perlu mengulangi kembali nasehat dan kata-kata bijak dari sang Filsuf Cina itu, “Kekuasaan yang menindas lebih berbahaya daripada harimau (sang Binatang Buas)”. Mengapa nasehat itu kita kutipkan ulang? Realitas dalam masyarakat kita saat ini membutuhkan wejangan-wejangan kearifan seperti itu. Utamanya, mengingatkan kepada mereka yang berkuasa atau yang memiliki kekuasaan untuk tidak menindas kawula dalam perlindungan mereka. Kata Lord Acton, “Kekuasaan cenderung disalahgunakan, kekuasaan yang absolut adalah penyalahgunaan yang absolut.” Contoh-contoh kekuasaan yang menindas saat ini begitu kasat mata disalahgunakan sehingga berakibat rakyat yang semestinya dilindungi justru ditindas oleh mereka yang berkuasa dan memiliki kekuasaan.
Kita juga ingin mengingatkan kepada para penguasa yang memiliki kekuasaan di situ untuk juga dengan penuh kerendahan hati merenungkan nasehat Kong Hu Cu dan Lord Acton seperti yang dipaparkan pada iftitah tulisan ini.
Kekuasaan memang dapat dipakai untuk memajukan dan memakmurkan masyarakat. Suatu contoh kebijakan penguasa dan mereka yang berkuasa yang digunakan untuk tujuan-tujuan mulia. Tapi kita juga masih berharap lagi, para penguasa dan mereka yang berkuasa untuk mendedikasikan kekuasaan yang mereka miliki untuk tujuan-tujuan kemanusiaan.



Demokrasi Pilkada dan Kemiskinan

Suara rakyat semahal harga rokok sebungkus. (Investigasi Tempo: Dari Skandal ke Skandal).

Pembangunan senantiasa mengingatkan kita akan gagasan tentang kemajuan, kesejahteraan, dan kekayaan. Pembangunan juga, dengan ideologi apapun, mengharuskan agar menyentuh aspek keadilan sosial, kemiskinan, keterbelakangan di bidang pendidikan dan kesehatan. Dengan sendirinya, pembangunan adalah proses ke arah yang lebih baik.
Menilik teori itu, Maluku Utara yang sebentar lagi menyelenggarakan Pemilihan Gubernur, atau lebih dikenal dengan singkatan Pilkada Gubernur, dengan kondisi ekonomi yang masih butuh perbaikan, proses pemilihan gubernur ini menjadi satu harapan ke arah perubahan yang lebih baik.
Kenapa harapan ini terbebankan ke Pilkada kali ini? Karena, demokrasi politik, menurut Anders Uhlin dalam Oposisi Berserak (1998), adalah prasyarat bagi demokrasi ekonomi. Jadi logika Uhlin adalah, jika demokrasi politik gagal, maka otomatis perubahan ekonomi, sosial, dan kultural yang selama ini menjadi harapan tiap orang, ikut gagal.
Semua yang berhubungan dengan perubahan sosial, untuk saat ini, terbebankan ke proses pemilihan gubernur, karena asumsinya, setelah sejumlah agenda pembangunan yang belum tuntas terlaksana, harus ada perubahan arah kebijakan daerah yang lebih menyentuh aspek kesejahteraan rakyat.
Negara barat dengan gagasan kolonialisme terselubung lewat IMF beberapa waktu lalu %sesuatu yang mirip VOC di awal penjajahan Belanda di Indonesia% sangat mereduksi semangat bertahan dan daya saing Indonesia di pasar global. Indonesia, akhirnya tak lebih menjadi Negara jajahan dari kolonial bernama International Monetery Fund. Dampaknya masih bisa dirasakan saat ini. Jika kita tak sengera keluar dari lilitan ekonomi ini, sungguh sulit bagi penerapan strategi apapun, termasuk otonomi yang disebut-sebut sebagai alternatif penyelesaian masalah nasional sekarang ini.
Rita Abrahamsen dalam “Disciplining Democracy (2000)” menyebutkan, doktrin baru pembangunan mengidentifikasi “poor governance” sebagai penyebab utama ketertinggalan pembangunan%dia mengambil sampel Afrika, dan tentu saja cara mengatasinya adalah “good governance,” atau “demokrasi. Abrahamsen begitu optimis, penyelesaian masalah dunia ketiga yang pemerintahannya dikategorikan korup, adalah dengan jalan demokrasi.
Sekarang, dalam konteks daerah ini, setelah pemerintah pusat memberikan kewenangan lebih lewat otonomisasi daerah, dan rakyat langsung memilih pemimpinnya, yang disebut-sebut memiliki legitimasi kuat dalam meraih kepercayaan publik, hendaknya menjadi dasar bagi terselenggaranya pemerintahan yang lebih bersih, adil, berwibawa, dan memihak kepada rakyat kecil. Tuntutan perubahan hendaklah dilihat dalam konteks yang lebih jernih. Jangan sampai, demokrasi kemudian tak lebih dari upaya elit politik untuk meredam tuntutan massa akan perubahan.
Sejumlah hal yang masih harus dijawab pemerintah saat ini dan yang akan terpilih nanti adalah, problem pengungsi yang belum selesai, pendidikan yang belum menyentuh seluruh lapisan masyarakat, kesempatan kerja dan lapangan kerja yang belum memadai, akses ke pusat-pusat ekonomi yang masih belum terbuka luas, dan keadilan dalam memperoleh lapangan kerja bagi semua rakyat. Target utama nantinya juga adalah mendorong penegakkan hukum bagi semua orang dengan menjunjung supremasi hukum.
Seperti idiom hukum yang terkenal, fiat justitia et pereat mundus. Hukum harus ditegakkan, meski langit runtuh. Filosofi yang selama hidup, selalu dijunjung mantan Jaksa Agung RI, Almarhum Baharudin Lopa.
Mencermati kondisi penegakkan hukum yang belum maksimal, ke depan, siapapun yang terpilih, harus punya nyali untuk mendatangkan orang yang meski belum sekaliber Lopa, minimal punya keberanian untuk bekerja sesuai aturan hukum positif di Indonesia. Dukungan terhadap penyelenggaraan hukum yang bersih dan bebas intervensi kekuasaan maupun uang, mutlak dilakukan di Maluku Utara.
Kita berharap pada perubahan, jika itu bukan sebuah hal yang utopis. Jika tidak, mari, tanyakan kepada para kandidat itu, pertanyaan dari Michel Foucault dalam Madness and Civilization, “Venez-vous m’enlever danz l’eternelle nuit?” (Apakah kamu datang untuk melemparkan aku ke dalam malam abadi?)
Sebuah pertanyaan filosofis yang tak mudah dijawab. Karena sebagimana dijelaskan Foucault, kebodohan%sesuatu yang berhubungan dengan tingkat dan mutu pendidikan% adalah sesuatu yang begitu dekat dengan manusia.
Justru, akar pertanyaan itu yang menjadi penyebab, demokrasi di Indonesia senantiasa tak jauh dari praktek kotor politik uang. Praktek yang sudah berakar lama di masyarakat, selain karena intimidasi, terlebih lagi karena memang secara ekonomi rakyat kita masih miskin.
Nah, kemiskinan secara umum merupakan akar dari penyebab chaos-nya sebuah daerah. Karena ketimpangan social yang terlalu mencolok juga berdampak pada kecemburuan social dan jika tidak dikelola secara baik, tentu berdampak serius bagi kestabilan daerah, bahkan nasional.
Kepercayaan yang coba dibangun sebagai bagian dari kampanye saat ini adalah, ada kandidat tertentu yang masuk kategori orang kuat. Indikatornya dari kemampuan financial yang mendukung kampanyenya. Karena diyakini benar bahwa sukses tidaknya seseorang dalam pertarungan kepala daerah, yang utama adalah kemampuan dana untuk membiayai aktifitas kampanye, entah dengan cara apapun.
Pada sisi lain, ada sejumlah calon yang datang menawarkan perubahan. Tapi seperti apa perubahannya, belum ada yang secara tegas memaparkan ke publik, dalam upaya sosialisasi diri. Jangan heran jika kemudian muncul kelompok “perlawanan” yang memperkenalkan diri sebagai Golput. Mereka memilih untuk tak menggunakan hak politiknya dalam pemilu, adalah bagian dari strategi protes itu.
Karena pasca konflik, rakyat kecil di Maluku Utara saat ini masih terpuruk dari segi ekonomi. Mereka masih miskin secara ekonomi. Masalah ini sangat serius karena akar-akar konflik di Maluku Utara belum tuntas terpecahkan. Kesenjangan ekonomi, sosial budaya, masalah administratif antar kabupaten seperti tapal batas, perbenturan kepentingan elit seperti dalam Pilkada ini, masalah hukum yang tidak tuntas, dapat saja saling menunggangi, dan dapat berdampak pada munculnya konflik komunal baru.
Dalam konteks ini, dibutuhkan seorang pemimpin yang punya visi yang jelas, dalam membangun Maluku Utara lima tahun ke depan. Seorang pemimpin tidak selalu harus diterima seluruh kalangan. Tapi minimal 50 persen dia harus mendapat dukungan rakyatnya. Maksudnya, agar legitimasi pemerintahannya diakui publik, dan dapat bertahan di tengah badai protes, jika nanti muncul ketakpuasan. Lebih legitimate lagi jika perolehan suaranya melampaui angka 75 persen dari total perolehan suara seluruh daerah.
Bagi rakyat, yang penting dilakukan saat ini adalah, bagaimana mengawal proses demokrasi ini agar berjalan lancar, jujur dan adil, lepas dari bias politik uang. Lalu apakah agenda para kandidat ini telah mampu menyelesaikan seluruh akar permasalahan di Maluku Utara pasca konflik, tidak semata perbaikan ekonomi, tapi juga menuntaskan sejumlah masalah pengungsi, penyelesaian tapal batas yang jadi bom waktu bagi kedamaian daerah, keadilan dalam pelayanan pendidikan, dan perbaikan aparatur pemerintah sebagai pelayan publik.
Sekarang rakyatlah yang menentukan dalam transaksi Pilkada ini. Karena mereka adalah target. Di tangan rakyat pemilihlah, hitam putih negeri ditentukan.
Setelah usai pemilihan nanti, masih ada yang mesti dilakukan. Harus ada kontrol terhadap pemerintahan secara kontinyu, karena pemerintah yang tidak dikontrol cenderung sewenang-wenang terhadap kekuasaan yang dimilikinya. Kontrol tidak mesti dari lembaga formal macam DPRD saja, tapi juga lewat suara-suara kritis. Sebuah pemerintahan yang baik adalah yang tidak alergi terhadap kritik, dan senantiasa mengoreksi diri. Jika tidak dikontrol, sebaik apapun pemerintahan, akhirnya akan menjadi seperti istilah negarawan Inggris, Lord Acton, power tends corrupt, and the corruption absolutely corrupt. Jika begini, bagaimana berharap pada perubahan? n

Liputan Khusus

Pendidikan Maluku Utara, Antara Angka dan Fakta

Pendidikan adalah proses pembebasan diri dari kebodohan dan kunci menuju perubahan. Di Maluku Utara pendidikan justru dikelola asal jadi.

Sekolah yang awalnya enam lokal itu, kini tinggal tiga kelas yang bisa dipakai. Itupun kalau hujan siswanya harus istirahat belajar. Harap maklum, atapnya sudah 80 persen bocor. SD di Desa Toliwang, nun di pedalaman Kao, Halmahera Utara ini sudah dibantu dengan dana Inpres sekitar 30 tahun lalu. Sejak saat itu kondisi bangunan ini nyaris tak tersentuh bantuan. Dinding bangunan yang hanya dari Asbes, kini sebagian besar sudah keropos.
Kisah di atas baru awal cerita tentang kondisi fisik bangunan sekolah di Maluku Utara. Sampai awal tahun 2005 di kota Tidore Kepulauan, masih ada sekolah dengan kondisi mirip kandang ayam, dindingnya dari papan dan lantainya tanah. Baru pada TA 2005-2006 lalu, dibangun unit sekolah baru oleh Pemda Tikep. Lokasi sekolah itu hanya di pesisir Oba yang dapat dijangkau dalam waktu 1 atau 2 jam transportasi laut dari Tidore atau Ternate. Tentu diwilayah terisolir, kisahnya pasti lebih suram lagi.
Keluhan soal terbatasnya sarana gedung, tak hanya datang dari pelosok terpencil. SD Mononutu yang terletak di jantung kota Ternate—ibukota provinsi sekarang—dalam lokasi yang sama sekaligus terdapat 4 Sekolah Dasar: SD Mononutu 1 dan 2 serta SD Kenari Tinggi 2 dan 4. “Kita ini sekolah di dalam kota, namun masih pararel, double shitf. Ini yang saya pikir bahwa kita berteriak mau maju namun sekolah masih tetap double shitf, ya sulit,” Keluh sang Kepala Sekolah.
Ini adalah ironi pembangunan pendidikan Indonesia. Padahal, seperti kata Ade Tais A.Ma. Kepala Sekolah SD Mononutu 1 Ternate, lembaga pendidikan memproduk generasi masa depan. “Saya pernah minta kepada pemerintah, kalau boleh sekolah ini ditambah ruang belajarnya, karena memang muridnya cukup padat, minatnya cukup banyak, tetapi terbatasnya masalah gedung, fisiknya. Padahal, bangun gedung mewah yang hebat-hebat saja bisa,” ujarnya getir.
Ade patut prihatin. Karena Negara ini memiliki konstitusi yang mengharusnya prioritas pembangunan pendidikan. Negara memprioitaskan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN serta APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidi-kan nasional. Itu pesan pasal 31 ayat 4 UUD ’45.
Lalu apakah ini semua karena target 20 persen anggaran pembangunan diarahkan ke pendidikan tidak tercapai? Alumnus D2 STAIN Ternate ini sepakat jika anggaran pendidikan dinaikkan, banyak problem pendidikan seperti sarana penunjang pendidikan, dan kesejahteraan guru, dapat terpecahkan.
Di Maluku Utara, soal dana sepertinya tak jadi soal. Karena, anggaran yang masuk tahun 2007 ini jumlahnya lumayan: trilyunan rupiah. Tapi berapa yang kemudian dialokasikan ke sektor pendidikan? Said Hasan MPd, Kadis Pendidikan dan Pengajaran Provinsi Maluku Utara mengaku, alokasinya sebesar Rp. 11 milyar. Masih jauh dari ideal.
Ini masih jadi masalah. Jangankan SD Toliwang di pedalaman Halmahera yang hampir roboh dimakan waktu. Di Ternate yang ibukota provinsi saja, satu bangunan dipakai hingga empat sekolah. Padahal idealnya, ujar Bapak enam anak ini, satu gedung sekolah hanya boleh dipakai satu sekolah. Tidak boleh dipakai lebih dari satu sekolah, atau dalam bahasa Ade Tais, tidak boleh double shift.
Langkah dan upaya pemerintah guna perbaikan sektor pendidikan bukan tak ada. Kebijakan Pemprov Maluku Utara sebagaimana dituangkan dalam Pola Dasar Pembangunan 2002-2007 (RPJMD-red), mencanangkan antara lain %Memperluas daya tampung SD, sekolah menengah dan pendidikan prasekolah yang lebih terjangkau dan berkualitas. Pembangunan sarana prasarana yang merata di seluruh Kabupaten/Kota. Peningkatan kualitas pendidikan, pemberian beasiswa bagi siswa berprestasi dan keluarga kurang mampu. Peningkatan kualitas, profesionalitas, kesejahteraan, citra, wibawa, harkat dan martabat guru. Kurikulum berbasis muatan lokal, membina manajemen pendidikan, pengawasan dan akuntabilitas.
Arah kebijakan ini dimaksudkan untuk menjawab kondisi obyektif pendidikan Maluku Utara tahun 2002 silam, dengan jumlah SD 1.141, jumlah siswa 147.841dan jumlah guru 5.140. SLTP 189 unit, siswanya 46.208 dengan jumlah guru 3.499, dan SMU/SMK 71 unit, 24.771 siswa serta 1.152 guru. Disamping juga penyebaran tenaga pengajar pendidikan dasar yang belum merata pada wilayah kecamatan dan desa, melainkan terpusat pada ibukota kabupaten, daya tampung SMU/SMK dan sederajat terhadap lulusan SLTP, serta permasalahan kuantitas dan kualitas pendidikan secara umum. Kenapa daftar panjang ini perlu diangkat? Karena kini, kita tengah berada di tahun 2007, mendekati garis finish dari program yang dicanangkan 5 tahun lalu. Seberapa besar capaian dari program yang telah dicanangkan?
Hasan punya argmentasi sehubungan dengan rencana kerjanya. “Sekarang itu masih perluasan akses di samping kita ikuti dengan peningkatan mutu. Mengapa perluasan akses, karena infrastruktur kita belum memenuhi standar ideal,” jelasnya. Perlu perhatian serius adalah angka yang ada dalam pendahuluan RKPD Pemprov. Maluku Utara 2006 berubah signifikan. Jumlah Sekolah mengalami pertambahan, tetapi terjadi penyusutan jumlah guru. SD 1.179 unit, SLTP/MTs. 253 unit, SMU/MA 215 unit, PT 8 unit. Sementara jumlah guru SD yang dibutuhkan 10.169 yang tersedia 669 orang, SLTP/MTs membutuhkan 1.319 orang guru dan yang tersedia baru 729 orang, tingkat SMK membutuhkan 568 orang yang tersedia baru 148 orang.
Itu perencanaan dari Pemprov untuk menjawab masalah pendidikan Maluku Utara, dengan mengacu pada data yang ada. Tapi mari kita lihat statistik BPS. Maluku Utara dalam Angka 2005-2006 mencatat, pada tahun 2005 jumlah SD se provinsi sebanyak 1.148 sekolah. Guru yang melayani sebanyak 7.364 orang. Jumlah itu tersebar di berbagai pelosok, dan mendidik murid-murid SD yang 212,323 jiwa. Jika dibagi secara merata, setiap sekolah kebagian 6 guru.
Kenapa datanya harus berbeda, dan selisih angkanya begitu besar? Kalau menggunakan data RKPD Pemprov, jumlah SD tidak sebanding dengan jumlah guru. Karena SD sebanyak 1.179 unit harus dilayani hanya dengan 669 guru. Logikanya, jika seorang guru tidak mengajar dua sekolah maka ada 510 unit sekolah yang kosong tanpa guru. Dengan sendirinya, pembangunan sekolah baru belum layak dilaksanakan saat ini. Namun, hingga saat ini belum ada laporan, sekolah dalam jumlah besar yang tak ada gurunya. Bahkan SD Toliwang yang begitu memprihatinkan, ternyata masih ada gurunya.
Ajaibnya, ada sekolah di dalam kota yang gurunya berlebih, tapi ada juga sekolah di pelosok yang hanya diasuh satu orang guru. Lalu data mana yang harus dipakai? Apakah database pendidikan yang begini kacau yang layak untuk dijadikan referensi dalam menyusun RKPD provinsi? Pertanyaan ini patut diajukan, karena data BPS tahun 2006 melaporkan, dari 907.130 penduduk Maluku Utara, masih ada 44 ribu yang buta huruf. Yang tak memiliki ijazah sama sekali jumlahnya 29,10 persen dari total jumlah penduduk Maluku Utara.
Dengan manajemen yang begitu sengkarut, kapan kita bebas buta huruf? Harap maklum, dengan manajemen seperti ini, seperti dikeluhkan Ade Tais, sulit untuk meningkatkan mutu pendidikan. Jika perencanaan pendidikan seluruhnya tetap sekacau ini, jangan harap generasi penerus Maluku Utara menerima pendidikan yang layak. Lalu dari mana harus membenahinya?
Said Hasan punya jawaban, masalah data base yang utama saat ini karena Dinas-Dinas di tingkat Kabupaten Kota tidak memasukkan laporan data mereka ke dinas provinsi. Ini problemnya. Untuk pemecahannya, pihaknya sudah merencanakan rembuk pendidikan se provinsi Maluku Utara. Maksud dari acara ini adalah untuk menyamakan data pendidikan se provinsi. Jika tidak dilakukan, sulit mendapat angka yang pasti dalam data base pendidikan di Maluku Utara.
Selain itu, tenaga pendidik yang beralih ke birokrasi menjadi tenaga struktral, baik di dalam maupun di luar instansi pendidikan sementara mereka asih terdaftar sebagai tenaga pendidik, juga salah satu yang diakuinya turut mengacaukan data jumlah pendidik. “Alih fungsi jabatan struktural itu sah-sah saja. Tapi yang dikuatirkan adalah pengalihan fungsi itu tidak berdasarkan analisis yang matang. Di bidang strategis, tidak harus menggunakan orang yang bukan ahli pendidikan. Pada saat di perhadapkan dengan program, misalnya UNDP, kan tidak nyambung karena bukan ahlinya,” ujarnya lagi. Rumitnya lagi, lanjutnya, budaya masyarakat Maluku Utara ternyata belum taat azas.
Gufran A. Ibrahim, Pembantu Rektor III Universitas Khairun Ternate punya jawaban penting soal kendala utama dunia pendidikan Maluku Utara. Masalah mendasar pendidikan di Maluku Utara adalah bagaimana menyiapkan blue print-nya. “Blue Print itu merupakan kerangka dasar perencanaan pendidikan Maluku Utara. Nah, blue print itu juga tidak jatuh dari langit tapi disiapkan melalui suatu survey pemetaan masalah-masalah pendidikan Maluku Utara. Dari hasil survey itulah kemudian dibuatkan blue print-nya atau dalam bahasa lain, adalah kerangka dasar sebuah perencanaan dan pengembangan pendidikan di Maluku Utara,” ujarnya.
Pemprov punya Rencana RPJMD (rencana 5 tahunan-red), kemudian di derivasikan kedalam RKPD (rencana tahunan-red), melalui Renja dan Rentara SKPD masing-masing instansi. Menurutnya, ini juga dibaca sebagai blue print, tetapi ada satu soal yang diakui oleh hampir seluruh instansi — data base mengenai masalah terkait dengan masing-masing instansi, juga diragukan kesahihannya. “Di kalangan pendidikan pun demikian, jangankan orang luar, dari dalam sendiri juga tidak begitu haqqul yakin mengenai kesahihan data itu, “ jelasnya.
Makanya ia menganjurkan sebuah survey secara komprehensif. “Mengapa survey perlu dilakukan, karena memang data base mengenai masalah-masalah pendidikan itu juga tidak valid menurut pengakuan mereka, tegasnya.
Jadi, itu kata kuncinya, harus mulai dari survey pemetaan masalah-masalah pendidikan lalu lahirkan blue print, dan itu dapat dibaca sebagai Renstra Dinas pendidikan 5, 10 atau 15 tahun kedepan, hingga berganti siapapun kepala dinasnya, itu kerangkanya. “Saya sudah pernah komunikasikan dengan teman-teman, termasuk juga kepala dinasnya (Kadis Dikjar Prov. Maluku Utara-red), waktu dia diminta ke sana (sebagai kadis-red), saya saran kepada untuk melakukan hal-hal yang saya sebutkan tadi, tapi itu kemudian tidak terjadi, karena terjebak dengan persoalan blockrant, itu salah satu penyebabnya. Terjebak dalam pengertian hanya melihat kesitu, padahal harus memulai dengan survay tadi. Saya yakin survey dimaksud akan menjadi mula dari bagaimana merancang Pendidikan Maluku Utara kedepan,” jelasnya.
Mengenai alokasi dana untuk pendidikan di Maluku Utara, diaku Said belum sampai 20 persen sebagaimana amanat konstitusi. Tapi, menurutnya sudah ada perubahan ke arah yang lebih baik. “Tahun 2006 lalu kira-kira 10 persen,” jelasnya.

Problem Gonta Ganti Kurikulum
MASALAH ini ditengarai sebagai problem krusial yang belum tertangani dengan baik. Orde silih berganti dengan kebijakan yang terus diperbaharui tak banyak mengubah pelayanan maupun mutu pendidikan Indonesia. Para menteri sejak Kabinet pembangunan dibawah kendali Soeharto, hingga Kabinet persatuan dibawah komando SBY % yang berubah hanya aspek yang jauh dari esensi. Depdikbud berganti nama menjadi Diknas atau Dikjar.
Dan juga kurikulum serta manajemen pengelolaan pendidikan yang terus berubah seperti CBSA, Link and Match, KBK, hingga yang terkini KBSP, tidak memberi dampak berarti bagi kualitas dan mutu pendidikan kita. Konsep yang dijejali itu sulit diimplementasikan, karena terbatasnya sarana dan prasarana, kompetensi tenaga penyelenggaranya, serta dukungan dana yang terbatas.
Semua itu, menurut Said Hasan, sumbernya pada manajemen yang tidak bagus. “Mutu itu ada jika manajemen bagus. Sama dengan, proses pendidikan adalah pembiasaan. Jadi kalau torang bicara mutu pendidikan maka kita bicara efek ikutan dari sebuah proses pendidikan. Kalau sebuah infrastruktur tidak bagus maka tidak akan mungkin prosesnya bagus, dan kalau prosesnya tidak bagus, maka tentu mutunya tidak akan bagus,” terangnya panjang lebar.
Dinasnya sudah berupaya menjawab masalah itu dengan melakukan perencanaan meliputi penyiapan infrastruktur, Kurikulum berbasis muatan lokal, membina manajemen pendidikan, pengawasan dan akuntabilitas. Tapi dalam bahasa Said, pendidikan adalah tanggung jawab semua pihak. Karenanya, jangan saling menyalahkan. Ia mengajak semua pihak untuk duduk bersama dan memecahkan masalah pendidikan secara serius. (roesly, sofyan).

teras

Kebangkitan

Kebangkitan adalah jawaban dari sebuah proses belajar. Dan nusantara sebelum Indonesia, menempuh proses dialektika itu lebih dari 3 abad untuk sampai pada jawaban – bangkit dalam kesadaran yang satu.
Di tahun 1906 seorang tua bernama Wahidin, sang priyayi dan juga dokter, mengawali kesadaran pentingnya merawat kebudayaan dan memajukan pendidikan. Bersama siswa pada sekolah kedokteran pribumi Stovia, ingin memperjuangkan beasiswa untuk pemuda Indonesia berprestasi. Semangat dan kesadaran itu diwadahi dalam Ikatan yang diberi nama Budi Utomo.
Tapi bukan pemuda namanya kalau tidak progressif. Merasa mubajir dan tak puas kalau Budi Otomo hanya sekadar mengurusi budaya dan beasiswa, patron pemuda lainnya, menempuh “kebangkitan” baru — Budi Otomo harus menjadi pioneer, alat perjuangan pemuda untuk cita-cita kemerdekaan — dia harus menyentuh wilayah politik dan diplomasi. Tercatat nama pemuda semisal Soetomo, Goenawan dan Tjipto (Mangoenkoesoemo bersaudara) serta Soewardi Soerjaningrat kemudian lebih dikenal sebagai Ki. Hajar Dewantoro yang mempelopori pentingnya perluasan ranah garapan Budi Utomo. Dan Si tua Wahidin tak mampu membendung antitesa itu. Dalam kongres ke-2 di tahun 1908. Budi Otomo mengalami perluasan gagasan, mengakomodasi tidak hanya kaum priyayi dan siswa Stovia, tetapi juga kalangan muda terdidik seluruh Jawa, juga bersentuh dengan wilayah perjuangan “politik”.
Dua momentum itu, 1906 dan 1908, kini tercatat sebagai era kebangkitan kaum muda nusantara yang dipelopori priyayi jawa. Tak berlebihan jika dua momentum itu dianggap sebagai “janin” nasionalisme dan rasa kebangsaan kita. Dan kita pun mengingatinya sebagai Hari Kebangkitan dan Hari sPendidikan Nasional. Sejarah Indonesia akhirnya punya catatan sendiri tentang Mei. Selain karena ia merekam peristiwa di atas, Ia juga menjadi semacam tonggak bagi kebangkitan bangsa (nation) yang bernama Indonesia.
Ide tentang pentingnya Pendidikan dan Nasionalisme menjadi sesuatu yang mustahil dipisahkan. Setidaknya terlihat bagaimana sejarah mencatat dua peristiwa di atas: Kebangkitan Nasional juga Pendidikan Nasional. Bukan saja karena keduanya dicetuskan dalam momentum berdekatan. Namun juga dari semangat itu, tumbuh keinginan untuk tidak dibodohi, tidak ditindas mulai bergema di hampir seluruh pelosok negeri. Kesadaran senasib sebagai bangsa terjajah yang sebelumnya tercerai dalam ikatan lokalis-etnistik, mulai berubah ke kesadaran yang satu; sebagai tanah air, sebagai bangsa dan bahasa.
Transformasi gagasan, berikut strategi perjuangan berkembang pesat, terus mengalami kemajuan pasca 1908. Perluasan gagasan Budi Otomo, membuka ruang bagi kaum muda mengecap pendidikan pada strata lebih tinggi, bahkan berkesempatan studi diluar negeri. Era di mana geliat nasionalisme mulai dikomunikasikan secara intens dan terbuka melalui agitasi-propaganda, diplomasi serta korespondensi yang mengagumkan. Dua puluh tahun kemudian digelar Kongres Pemuda I, dengan Ikrar tentang satu Tanah Air, satu Bangsa dan satu Bahasa: Indonesia. Tujuh belas tahun kemudian kata “Indonesia” yang dikrarkan itu, diproklamirkan sebagai sebuah bangsa merdeka. Sebagai sebuah republik yang berdaulat.
Indonesia merdeka adalah Indonesia yang didesain untuk “bangkit” dari ketertindasan dalam berbagai aspeknya. Sebuah kebangkitan yang mengangkat martabat Indonesia sejajar dengan bangsa lain di dunia. Dan martabat bangsa praktis dapat terangkat ketika martabat rakyatnya diperjuangkan dengan sebaik-baiknya. Dan itu merupakan tujuan utama sebuah walverstate. Dalam konteks ini Kesejahteraan dan Keadilan bagi seluruh Rakyat Indonesia menjadi perkara yang belum diseriusi dengan baik. Bahkan hingga kemerdekaan Indonesia telah menempuh usia 62 Tahun.
Akibat ketidak seriusan mengurusi keadilan dan kesejahteraan rakyat itulah, selain tentu saja kebijakan lain berkisar soal politik, ekonomi. Orde Lama di bawah kepemimpinan Bung Karno terjungkal. Lahirlah kemudian Orde Baru yang kokoh dan angkuh selama lebih dari tiga dekade. Pada awal kelahiran Orde Baru dengan nahkoda Soeharto tertitip harapan (barangkali) ia mampu meneruskan cita-cita kebangkitan Indonesia. Namun akhirnya bernasib sama, kehilangan kepercayaan rakyat dan mimpi itupun terkubur bersama tumbangnya Orde Baru.
Dan sekali lagi bulan Mei 1998 mencatat kekisruhan yang luar biasa, dari keinginan rakyat yang disuarakan lewat demonstrasi mahasiswa di seluruh pelosok Indonesia. Mereka mengutuk kekuasaan yang korup. Kekuasaan yang tidak memihak kepada rakyat. Sebuah kekuasaan otoritarian dengan wajah yang “seram”. Di mana bahasa kebenaran hanya berhak didevenisikan oleh penguasa.
Akhirnya sejarah Indonesia meredeka, adalah kisah tentang bangkit dan tumbang. Tentang cerahnya harapan dan suramnya kenyataan. Di dalam setiap keinginan untuk bangkit dan berubah selalu ditempuh lewat jalan yang tak mudah, terjal berliku dan memakan korban harta juga jiwa. Dan kita pun berpikir: Bagaimana merumuskan kebangkitan yang sesungguhnya bagi Indonesia kita?
Jawabannya (mungkin). Belajarlah dari kesalahan, dari sejarah. M. Sofyan Daud

Tidak ada komentar: