Jumat, 25 Juli 2008

Senyum Di akhir Hari-hari Murung

Harlina Siradjudin, SS
Gerimis turun di tepi danau Scutari, pinggir kota Titograd Montenegro dan hawa yang dingin waktu itu pada akhir musim gugur 1987, tak mampu menyejukkan hati warga Yugoslavia yang sedang retak. Ratusan perempuan saat itu berdemo melancarkan protes kepada pemimpin Albania, Kosovo, Fadil Hadza atas pernyataannya yang dianggap sangat meremehkan perempuan. (Tito, Sihir Prangka).Namun kiranya pernyataan Hadza yang juga anggota Kepresidenan Federal (sebuah presidium penguasa pasca Tito) yang kemudian menyisakan resah cukup dalam bagi warga Yugoslavia tak seresah dan segundah warga masyarakat Tidore dalam berpuluh tahun merajut asa, menanti datangnya sebuah perubahan negeri ini.. Dengan tidak mengurangi rasa hormat saya kepada pemimpin-pemimpin terdahulu dan tampaknya tidak berlebihan jika saya harus bertutur. “Sekian lama waktu bergulir dan musim pun berlalu silih berganti tanpa kenal lelah, Tidore masih saja berputar–putar dalam lingkaran … DIAM!”“Dulu.., kalau saya pulang dari Ternate kong ujan turun, saya lari sampe amper jatong. Ya, soalnya tete so tua, lari me kaki totofore ha..ha… Sekarang so tarada lagi, tong pe Pemerintah so MULAI perhatikan pa torang “ ujar lelaki tua itu, sebut saja tete Bahim sambil mengulum tabako sek di bibir kirinya, lalu memandang senang atap biru di atas kepalanya. Saya pun mengangguk setuju, sayangnya, tete Bahim setengah badannya sudah masuk ke dalam angkot tujuan Soasio, saya hanya sempat melihat bahu kirinya yang kurus terbungkus kemeja lengan panjang bermotif kotak–kotak warna coklat tua.Saya senang karena tete Bahim adalah orang yang (mungkin) kedua ratus sekian mengatakan hal sama. Mayumi Nakatsugawa, seorang sahabat dari negeri Sakura yang berkunjung kembali Oktober 2001 silam dengan bangga berkata “ Watashi wa ureshii desu. Tidore wa kirei na, tadaima Tidore wa suteki na“. Dengan modal bahasa Jepun yang masih taraf “tatih-tatih” kalimat Mayumi itu bisa saya artikan sebagai; “saya amat senang Tidore jadi lebih Indah. Sekarang Tidore mengagumkan”Tidore kini mulai terjaga dari tidur panjangnya, mungkin itu yang ingin dikatakan Mayumi, saya bisa menangkap matanya yang cipit mengitari pojok kota, di sekitar RSU sampai ke pasar Sarimalaha dengan penuh kekaguman, tidak seperti beberapa tahun lalu, waktu ia berkunjung ke Tidore. Mayumi diam saja dari Rum sampai balik lagi ke Rum. Saya pun teringat ucapan seorang wanita yang pernah mengunjungi Stand Tidore di Jogyakarta saat Festival Keraton 2004 lalu. “Mbak, kok namanya Tidore sih, orang-orangnya suka tidur ya? Refleks tatapan saya mengarah tajam, seperti ingin menembus kedua bola matanya. Ingin rasanya saya pelintir lidah perempuan itu, tapi… “Nenek moyangku akan mengutukmu, jika kamu berpikiran seperti itu“.. cuma itu yang keluar dari mulut saya. Selebihnya geram bercampur sedih. Saya hamper tak kuasa mengendalikan emosi, kata –kata wanita berparas ayu itu terasa bagai menohok tepat di ulu hati. Entah saat itu rasa malu, menyesal atau sekaligus keduanya. Detik berikutnya tatapan saya mengambang ke langit-langit Jogya Expo center, agar air mata saya tak sampai jatuh. Wanita itu pun berlalu sambil meninggalkan kata maaf yang terdengar sumbang di telinga saya.Dua tahun perjalanan Mahifa-Adrias, Tidore kini mulai bergeliat, perlahan bangun dari tidur panjangnya yang sepi, “perlahan namun pasti“, bisik hati saya, begitu pun kata orang-orang di sekitar saya setelah berbincang di tempat duduk depan rumah tetangga, suatu sore sehabis hujan. Dua tahun Mahifa-Adrias merangkul negeri leluhur ini, dan saya lihat Tidore mulai berwarni-warni bak dalam film kartun. Keduanya sesuai Visi “Terwujudnya Kota Tidore Kepulauan yang beriman, maju, mandiri dan berperadaban“ ternyata tak hanya sepenggal janji yang di ukir di atas pasir dan seketika lenyap disapu riak kecil sekalipun. Para Imam dan Sara, juga petugas kebersihan kini bisa lega. Setidaknya keringat mereka tidak cuma jatuh ke tanah lalu kering di telan bumi.“It’s a very greats! I am not just proud but must be salute“, begitu SMS dari seorang sahabat di larut malam sunyi pada paruh bulan Desember 2007 silam. Tidore pancarkan terus warna-warnimu, jangan pernah redup lagi. Lihat, pucuk-pucuk cemara di kaki Marijang menari gemulai dibelai bayu senja, dan Marijangpun kembali tersenyum setelah sekian lama murung dalam kebisuan. Alah o vin benu; semoga Allah memberkati Anda.
a specially dedicated to Mahifa-Adrias

Tidak ada komentar: