Selasa, 05 Agustus 2008

Menimbang Maluku Utara



Tahun 2007 – 2008 bagi Maluku Utara adalah “tahun politik”. Politik adalah “panglima”. Politik adalah alat untuk meraih tujuan kekuasaan dengan “pelbagai cara”.
Bahkan Politik untuk semata-mata tujuan kekuasaan – mampu dikesankan oleh sebagian elit Maluku Utara – sebagai sesuatu yang perlu diperjuangkan, berapa pun ongkosnya, termasuk “biaya sosial” yang begitu mahal.
Dan satu pelajaran “berharga” tentang cara-cara berpolitik “ala” Maluku Utara yang menonjol ialah, esensi berpolitik untuk tujuan kekuasan hanya punya dua sisi – kalah atau menang – dan kebanyakan memilih yang kedua, walaupun harus menafikkan the rule of the game, maupun kepantasan dan kepatutan yang menjadi prasyaratnya.
Mungkin yang terpapar sekadar “politik gontok-gontokan” antara para pihak berkepentingan, yang sering berekses kekerasan fisik dan psikis. Mungkin pula yang tersaksikan hanya “lobi-lobi, intrik politik, aksi massa, dan cara-cara serupa lainnya”, tapi jauh di baliknya ada soal-soal mendasar yang mesti dilihat sebagai masalah krusial.
Pasalnya, bila perilaku individu dalam interaksi sosialnya – dengan pendekatan sosiologi-antropologi – adalah gambaran tentang realitas nilai dan pola pikir komunitasnya, atau bagian dari ekspresi nilai yang menjadi ciri dan unsur kebudayaan komunitas dimaksud, maka yang tersaksikan di hari-hari ini, bahkan satu dekade terakhir, terutama menyangkut urusan tata kelola pemerintahan, aktivitas pepolitikan, penegakan hukum, dan aktivitas “cari makan” sehari-hari di Maluku Utara, secara serius, pantas dipertanyakan akar kulturalnya.
Dari bagian masa lalu mana watak ini diwarisi? Dari nilai macam apa dan tujuaan seperti apa, dinamika sosial kita bersandar dan bertujuan? Dari aras kontemplasi sejarah kebudayaan seperti apa, Maluku Utara hendak meretas masa depannya, termasuk masa depan demokrasi?
Atau justru fenomena ini adalah bagian dari kegandrungan pragmatisme sebagai akibat dari erosi nilai yang begitu deras, dan sebagian dari kita tak sanggup mengelak dari keterjebakan (atau malah menjebakkan diri) pada simplifikasi tujuan hidup hanya sebatas “senang-susah” dan “untung-rugi”.
Meskipun kerap kali “Senang” yang ditimbun oleh seseorang atau sekelompok orang, justru menimbulkan kesusahan dan derita bagi sebagian yang lain. Meskipun kadangkala “Untung” yang di buru dalam “perjudian hidup” oleh seseorang atau sekelompok orang adalah kerugian, duka cita bahkan petaka bagi sebagian yang lain.
Apakah kita sedih ketika tahu bahwa pada tataran tertentu, ketidakmampuan menata lalu lintas kepentingan dalam urusan “cari makan dan cari jabatan” ternyata makin menggerus modal sosial – yang memang sudah amat langka – seperti kearifan, rendah hati, prinsip lama bahwa, orang punya, orang punya, torang punya, torong punya?
Adakah kita merasa harkat kemanusiaan kita terlucuti, saat menyadari bahwa ketidakbecusan yang pernah kita lakukan (sengaja maupun tidak), ternyata telah melukasi sisi-sisi kemanusiaan orang lain, telah pula menciderai norma dan etika sosial yang selama ini ukuran kepatutan dan kepantasan?
Kita berharap jawabannya “ya”, hingga kita perlu rekontruksi dan reorientasi, tapi bila jawannya “tidak” maka kita mesti seratus persen kuatir, jangan-jangan absurditas ini adalah terminal menuju kehancuran, perpercahan dan kebangrutan yang lebih serius...
Kalau M. Amin Rais, politisi-akademisi menyerukan perbaikan kondisi bangsa Indonesia dalam buku teranyarnya “Agenda Mendesak Bangsa, Selamatkan Indonesia” yang terbit April 2008 lalu, agaknya Maluku Utara pun butuh wacana sama, “Mendesain Agenda Menyelamatkan Maluku Utara”, terutama dari krisis kepercayaan pada norma hukum dan norma sosial yang kini menggejala, dari krisis tanggung jawab moral dan tanggung jawab profesional, juga krisis peneladanan.

Korupsi Berantai



Siapa Terlibat Skandal Bantuan Sosial?

Kejaksaan mengusut ada dugaan penyelewengan bantuan sosial pada APBD 2007 Provinsi sebesar. Siapa saja yang terlibat skandal?

SELAMA ini hubungan dua lembaga kantor gubernur dan kejaksaan tinggi yang bertetangga dekat ini cukup “akur”. Tapi tidak kali ini. Dua kantor di jalan revolusi yang hanya dipisahkan jalan, sejak Rabu, 12 Maret lalu mulai renggang dan memasuki babak “perseteruan”. Pemicu kerenggangan yang akhirnya berbuntut perseteruan itu, karena insiden pemukulan yang dilakukan sejumlah oknum pegawai kantor gubernur terhadap asisten pidana khusus (Aspidsus), Tatang Sutarna,ketika hendak melakukan penyitaan sejumlah dokumen di kantor gubernur. Alih-alih mendapatkan dokumen sitaan, yang diperoleh justru “bogem”mentah.Pemukulan atas Aspidsus dan rekan-rekan timnya memang cerita baru dan (unik tentunya!) Cerita baru karena memang baru pernah terjadi.
Uniknya karena baru pertama kali ada oknum (PNS) yang berani memukul aparat penegak hukum ini. Selain itu, kasus yang diungkap pun terbilang paling mutakhir; dugaan penyelewengan dana bantuan sosial tahun anggaran 2007 yang nilainya tak tangung-tanggung Rp 147 miliar.
Dugaan penyelewengan dana ini sebetulnya bermula dari stemmotivering atau pandangan akhir dari fraksi Golkar DPRD Provinsi pada saat LKPJ gubernur Thaib Armaiyn, sekitar Juni 2007 lalu. “Saat itu hanya Fraksi Golkar yang mengangkat soal ini dengan dua pertimbangan. Pertama, Pencairan dana di atas ratusan juta rupiah kan harus dibuatkan cek, sebagaimana ketentuan Kepres 80, itu diabaikan. Kedua, ini aneh bin ajaib, sebab ada APBD di republik ini yang pos bantuan sosialnya 14 persen dari total APBD. Menurut saya, itu sudah di luar aturan tentang penyusunan APBD,”ungkap Badarudin Gailea dari fraksi Golkar kepada GENTA via telepon.
Terlepas dari apakah ada motif politik didalamnya yang jelas, menurut Badar –begitu ia disapa-tak ada target apapun dan semata-mata mempersoalkan kinerja pemerintah pemda provinsi. “Masalah ini diangkat untuk meminta perhatian publik agar meresponi. Sebab mau ditolak juga susah, karena tolak atau setuju, APBD tetap dijalankan, makanya kami mengungkap kebenaran ini agar publik tahu persis dan bisa menilai,”ungkapnya.
Buka jalan fraksi Golkar ini kemudian di blow-up pers. Karena disebut-sebut didalamnya ada dana yang diperuntukkan untuk media massa dan media center terkait pelaksanaan Pilgub. "Pihak kejaksaan menerima pengaduan ini dari pekerja pers yang mengaku tak pernah menerima bantuan. Padahal pos untuk media centernya ada,”ungkap Tatang. Setelah ditelusuri, dana untuk media massa dan media center masuk dalam pos bantuan sosial.
Bukan hanya media massa dan media center, kecurigaan-kecurigaan lain juga merebak. Terdapat beberapa pos bantuan yang lain seperti biaya pendidikan anak cacat senilai Rp 160 juta, tak pernah diterima, padahal uangnya sudah cair. Lalu ada bantuan untuk Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Maluku Utara, di APBD nya tercatat Rp 7,25, tapi realisasinya hanya Rp 6 M. “Rp 1,2 nya kemana? Kitakan belum tau. Kemudian kita cek bantuan pembinaan untuk olahraga penyandang cacat, itu dalam APBD-nya Rp 1,125 miliar tapi yang diterima hanya Rp 136 jt. Dari hal-hal seperti ini kita minta kejelasan,”ungkap Tatang.
Jelasnya, pihak kejaksaan kemudian meningkatkan ke tingkat penyidikan. Dan penyidikan itu menurut Tatang, adalah upaya paksa, termasuk penyitaan dokumen.
Untuk menjalankan tugas penyidik, Kajati Pada 11 Maret 2008 mengeluarkan tiga surat perintah (sprint), izin penyidikan, penggeledahan, dan penyitaan dengan masing-masing bernomor 044/s2/FD.I/03/2008, 045/S2/FD.I/03/2008 dan 046/S2/FD.I/03/2008. Selain dibekali sprint, juga dibentuk tim berjumlah 17 orang.
Mengantongi tiga sprint, pada 12 Maret tim menuju ke kantor gubernur untuk mulai melakukan penyidikan, penggeledahan dan penyitaan. “Tapi sebelum itu sekitar pukul 09.00 wit, kami terlebih dulu melapor ke plt gubernur untuk koordinasi disaksikan asisten tiga. Jadi tak benar aktivitas kami tak ada ijin,” ungkap Tatang berang.
Sayangnya sebelum selesai melaksanakan tugas, Tatang dan timnya dikeroyok pegawai kantor gubernur karena dituding tak memiliki ijin. Tak hanya itu, dokumen keuangan yang dicari menurut salah seorang oknum bendahara seluruh data keuangan sudah diambil Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Insiden pemukulan jaksa pun ditengara karena terjadi miss comunication alias kesalahan komunikasi. Terlepas apakah ada kesalahan komunikasi atau tidak, yang pasti sikap over acting pegawai yang mengeroyok tim kejaksaan menurut Ridha Ajam, koordinator konsorsium Makuwaje adalah sikap premanisme.
Pertanyaan selanjutnya kemana dana bantuan sosial itu mengalir? Karena pihak kejaksaan mencurigai peruntukan APBD di lapangan tidak sesuai. Di bagian anggaran, kata Tatang, Rahim yang memegang SKO mengatakan, semua dana sudah keluar. Apakah dana itu mengalir untuk biaya politik incumbent? wallahu’alam.
Lalu siapa saja yang terlibat dalam penyelewengan bantuan sosial? menurut Tatang, belum bisa disebutkan siapa saja yang terlibat karena sejumlah nama akan dipanggil untuk diminta keterangan . “Kami masih tahap mengumpulkan keterangan.” Ungkap Tatang.
Jelasnya, kata Tatang, yang menangani pemberian bantuan dana itu berawal dari permohonan. Yang bisa saja masuk ke gubernur atau ke sekda. Dan semua itu lewat SKO ke SPP lalu ke SPM yang menjadi cek.”Kita juga akan meminta keterangan dari Sekda Provinsi,”kata Tatang.
Namun sudah dua kali pemanggilan, Sekda tak jua memenuhi panggilan. Informasi yang diperoleh GENTA, Sekda masih berada di luar daerah. Tapi menurut salah satu kuasa hukum Sekda, Rahman Mahfud mengatakan Sekda akan tetap memenuhi panggilan kejaksaan. “Rencananya Senin hari ini,”kata Rahman kepada GENTA Senin, 24 Maret lalu.
Selain Sekda provinsi, sejumlah nama yang juga akan dimintai keterangan diantaranya, Noni Ahmad, Kepala Bidang perencanaan Pembangunan Lintas Kabupaten Kota, Mashab Amir, Kepala Bagian Pengembangan Pegawai, Nurain Ahmad, pemegang kas, Rahim Muhammad, bendahara rutin Pemprov dan Fahria Fabanyo, salah satu staf di Kasubag Biro Keuangan.
Menurut Kepala Kejaksaan Tinggi, Ali Sabtu pada konprensi pers usai insiden pemukulan itu menyatakan pada tahap penyidikan telah dilakukan pemeriksaan terhadap sejumlah saksi. Karena prosesnya masih penyidikan nama-nama saksi dimaksud tak disebutkan. “jumlahnya lebih dari 10 orang, dan kerugian negara ditaksir mendekati Rp 10 miliar,” katanya.
Boleh jadi Kajati benar. Karena sumber GENTA yang enggan namanya dimediakan menyebut, dana bantuan sosial melibatkan banyak pihak dan banyak nama. “Biasanya melalui proposal kegiatan yang diduga fiktif dan terjadi kongkalikong,”kata sumber itu. Nah. Kita tunggu saja kerja kejaksaan.
syarifuddin oesman, ilham mouradji, ikhsan bahruddin
Uji Nyali dua Lembaga
Tak hanya lembaga kejaksaan , tapi lembaga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga sedang di uji.
Sebenarnya dua lembaga yang menangani urusan periksa memeriksa ini tak perlu bersitegang soal kewenangan. Kalau memang ditengarai ada penyalahgunaan keuangan, kedua lembaga ini harus saling menopang.
Tapi inilah yang aneh. Begitu mendapat informasi, bahwa semua dokumen keuangan diberikan ke BPK, pihak kejaksaan pun beralih ke BPK Maluku Utara. Sayangnya, pihak BPK enggan memberikan dokumen itu dengan alasan mereka masih melakukan audit. “Karena masih diaudit, data itu belum bisa diekspos keluar,” ungkap Daryono, Kasubag umum pada GENTA Jum’at, 14 Maret lalu.
”Padahal kita juga butuh data kas umum itu. Kita pun didesak target waktu, segera ada hasil dalam penyidikan. Sebetulnya, kalau mengacu pasal 38 KUHAP, kita bisa melakukan penyitaan di BPK, tapi kita koordinasi dulu. Saya dan Pak Wakajati sudah ke BPK, temui Pak Daryono tapi tetap tidak mau ngasih. Padahal anda bisa lihat sekarang, BPK meminta data dari Kejaksaan agung, juga bisa. Itu kan perintah undang-undang, apalagi dalam pasal 21 Undang-undang tindak pidana korupsi, siapa pun yang menghalang-halangi, merintangi dan menghambat penyidikan tindak pidana korupsi, bisa kena pidana. Tapi kan kita coba koordinasi dulu,” kata Tatang kesal.
Menurut Margarito Kamis, dalam soal ini BPK keliru. Karena mekanisme internal hanya berlaku untuk urusan internal BPK. ”Posisi dan itikad dari pemeriksaan BPK itu untuk apa? Kan untuk menjamin akuntabilitas atas penggunaan kekuasaan pengelolaan keuangan negara di daerah. Nah, penyidikan, itu dilakukan karena diduga ada penyimpangan penggunaan kekuasaan pengelolaan keuangan negara di daerah yang merugikan negara. Itu artinya substansi penyidikan pun dimaksudkan untuk memastikan dan mempromosikan akuntabilitas penggunaan kekuasaan pengelolaan keuangan negara di daerah,”ungkapnya.
Selain itu, BPK bukan lembaga penyidik, institusinya hanya memiliki kewenangan posisional mengecek penggunaan kekuasaan pengelolaan keuangan negara yang dipegang oleh Presiden yang dalam konteks daerah diserahan kepada Gubernur. ”Nah, dalam konteks penyidikan ini, kejaksaan memiliki kewenangan yang bersumber dari undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP, untuk mengambil dokumen-dokumen itu di tangan siapapun, termasuk di BPK,” cecar Margarito kepada GENTA pada 19 Maret lalu.
Makanya Margarito juga menyayangkan sikap BPK dan menganggap kejaksaan dapat mengkonstruksikan sikap BPK sebagai bentuk menghalangi-halangi penyidikan tindak pidana korupsi.Menurut Daryono, BPK bukan bermaksud menghalang-halangi penyidikan kejaksaan. Karena kejaksaan dan juga BPK punya kewajiban untuk meminta data ke Pemda.
Tapi dokumen itu menurut Daryono masih ada di BPK yang duluan memintanya ke Pemda. Kalau pihak kejaksaan ingin mendapatkan dokumen itu bisa minta ke Pemda. ”Kalau menunggu hasil audit BPK harus bersabar menunggu sampai akhir Maret,”kata Daryono bersikeras.
Terlepas dari tarik ulur kewenangan dua lembaga ini, menurut Margarito langkah kejaksaan kejaksaan tidak seakdar memperbaiki citra. Karena faktanya, publik Maluku Utara juga kejaksaan tahu, korupsi di Maluku Utara luar biasa, tapi belum terungkap tuntas.“Saya kira tepat apa yang dilakukan Kejati saat ini.Apakah memperbaiki citra atau tidak, itu soal lain. Soal persepsi publik. Bagi saya, ada fakta korupsi dan positif untuk segera dibongkar. Saya sangat setuju. Kalau publik menilai, jaksa cari muka atau Kejati memperbaiki diri karena dulu-dulunya parah, itu silakan saja. Bagi saya, ada kasus korupsi di Maluku Utara dan kejaksaan masuk untuk mengungkap, itu langkah yang bagus, dan kita harus mendukung,” ungkapnya.
Seia Margarito, HMI Cabang Ternate, Konsorsium Makuwaje dan Formak, ikut mensuport langkah kejaksaan. “Kami tetap mengawal, untuk seluruh dana yang di Korup di Maluku Utara, di antara DTT maupun Dana Sosial dan lain sebagainya. Ini akan tetap menjadi prioritas. Dan saya kira dana sosial ini menjadi langkah awal untuk membongkar kasus-kasus korupsi yang lainnya,”ungkap Jusnain Harun, Plt ketua umum. Jadi ayo pak Jaksa kamu bisa.
syar’oes, ilham, ikhsan
Ganjaran Berlapis Pengeroyok Jaksa
Dua oknum pegawai kantor gubernur pengeroyok jaksa ditetapkan sebagai tersangka, yang lainnya masuk DPO. Mereka bakal dikenai pasal berlapis.
Dengan wajah lesu, sebut saja Abdul, salah seorang oknum pegawai yang diduga mengeroyok jaksa pada insiden pemukulan di kantor gubernur berkata, “saya tara pukul.” Toh, pembelaan itu tak menyurutkan pihak kepolisian untuk memberikan status “tersangka” pada dirinya.
Selain Abdul, ikut ditahan, juga Armin. Keduanya pegawai negeri di kantor gubernur yang disangkakan pihak kepolisian Ternate melakukan pemukulan dan pengeroyokan atas diri Aspidsus Asisten pidana khusus (Aspidsus) Tatang Sutarna dan tim penyidik kejaksaan Maluku Utara 12 Maret lalu.
Tersangka lainnya masih buron dan kini masuk dalam daftar target operasi yang masih terus diburu tim buru sergap (Buser) Polres Ternate. Mereka diduga kuat terlibat pengeroyokan ketua tim kasus dugaan korupsi dana dana bantuan sosial (Bansos). Dari keempat pelaku yang buron tersebut, tiga diantaranya oknum pegawai negeri sipil kantor gubernur, sementara satunya lagi warga sipil.
Sementara pada Selasa, 18 Maret lalu, salah seorang TO berinisial BK, oknum pegawai di Biro Kesra menyerahkan diri, dan langsung ditetapkan sebagai tersangka. Dan seorang lagi berinisial IA, masih dalam kejaran polisi dan masuk daftar TO.
Menurut Kapolres, Ahmad Marhaendra, tersangka kasus pemukulan jaksa akan dijerat pasal berlapis. Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan, 351 tentang perbuatan tidak menyenangkan serta pasal 21 UU nomor 20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi (Tipikor), dengan ancaman maksimal 20 tahun penjara.Tak hanya itu, para tersangka menurut Natsir Thalib, Asissten III Setda Pemprov mereka juga akan dikenai sanksi karena melanggar PP nomor 30 tahun 1980 tentang disiplin pegawai negeri. “Kemungkinan mereka akan dipecat,” kata Natsir seperti dikutip Harian Ternate Pos. Apakah ancaman ini serius? Wallahu’alam.
syarifuddin oesman, ilham mouradji, iksan bakhruddin
Arief Armaiyn Jadi Tersangka
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Maluku Utara, Arief Armaiyn, akhirnya resmi menjadi tersangka kasus dugaan korupsi. Arief yang ditahan pada Minggu malam, 16 Maret lalu di sel tahanan Polda Maluku Utara, terjerat skandal proyek fiktif rehabilitasi dan revitalisasi Keraton Jailolo dan Pengadaan Kapal Katamarang oleh penyidik Polda Malut.
Arief akan dikenai pasal berlapis.Kepala Dinas yang selalu tampil trendy ini menurut Wakabid Humas Polda Malut, Kompol Noortjahyo terbukti melanggar 12 huruf (a) dan (b), pasal 12 B UU nomor 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Selain itu tersangka juga melanggar pasal 3 dan 9 UU Tipikor serta pasal 55 KUHP tentang tindakan konspirasi bersama-sama.
Sebelumnya mobil pribadi merek Honda CRV Hitam dengan nomor polisi (nopol) DG 121 FI, diduga milik Kadis Kadisbudpar disita pihak penyidik. Mobil itu diduga merupakan sogokan dari Herman, oknum kontraktor proyek fiktif tersebut.Selain menyita mobil, Polda juga telah memblokir tiga rekening milik Arief yang ditengarai didalamnya menyimpan dana atas proyek fiktif tersebut.
Dari ketiga rekening tersebut, Polda berhasil mengamankan uang sebesar Rp 300 juta yang diduga uang hasil suap. Dan dipastikan dana yang dibagi-bagi itu cukup besar, karena hasil pemeriksaan BPK ditemukan kerugian negara mencapai Rp 2,3 miliar.
Nilai proyek keraton Jailolo tercatat Rp 1,6 miliar dan dilapangan proyek tersebut tidak dikerjakan. Sementara anggaran untuk pengadaan dua kapal Katamarang sebesar Rp 700 juta.
Selain memblokir rekening tersangka Arief, dua rekening milik tersangka Hermanto, oknum kontraktor juga rekening Kasubdin Pemasaran Dibudpar Malut, Samsudin juga ikut diblokir oleh pihak penyidik Polda.
Di hadapan penyidik, Arief menyangkal tidak pernah menerima suap dari kontraktor. Padahal proyek itu sudah cair seratus persen. Arief juga menyangkal mobil pribadinya yang disita Polda adalah mobil bekas yang dibeli seharga Rp 80 juta. Tapi menurut Noortjahyo oknum kontraktor, Hermanto mengaku mobil itu baru dibelinya dan diserahkan ke Kadis untuk memuluskan proyek yang ada di Disbudpar Malut.
syar

Harga Wanita

Alloed Dahlan Chonoras
Sang ‘Pencinta wanita’ kini wartawan Malut Post''
Yang harus dipersiapkan oleh para ibu untuk menjamin masa depan anak perempuannya adalah kecantikan.'' Kata seorang Ibu.KALIMAT bernada ironi itu diucapkan seorang Tante, dalam obrolan ringan saat perjalanan kami dari Tidore ke Ternate. Tak sampai di situ, ia lalu melanjutkan tesisnya, ”Anak perempuan tidak perlu disekolahkan terlalu 'serius'. Yang perlu adalah, setelah dewasa, bagaimana membuat dirinya menarik, agar mendapat suami baik, mapan dan dapat menjamin kehidupannya di masa depan.''Rasanya ingin mencibir, mendengar statemen menohok itu. Naluri aktivisku muncul. Segala bacaan tentang feminisme, kesetaraan harkat dan martabat perempuan, dan ingatan seputar diskusi gender bergolak dalam kepala, ingin menyerang tesis nyeleneh si ibu itu. Lalu, setelah agak lama berpikir, aku pun sadari. Pernyataan tadi adalah ekspresi amat polos, dari seorang ibu rumah tangga lugu. Istri seorang eksekutif muda cukup mapan di Ternate. Mungkin Ia tidak pernah mengenyam referensi tentang gender dari buku, majalah, ataupun diskusi dan sejenisnya.Wacana feminisme memang tercover dalam majalah yang menjadi langganannya, tetapi baginya itu tidak terlalu menarik. Perhatianya tersita oleh berita selebritis dan seputar kriminalitas. Pandangannya terhadap relasi pria-wanita, barangkali lebih banyak terbentuk dari tangkapannya atas sajian sinetron sarat glamour dan sekadar urusan, cinta, cemburu, sedu -sedan, restoran, rumah dan mobil mewah. Dalam pergaulan modern, wanita memang realatif bebas. Bebas keluar rumah, menentukan nasibnya sendiri, bebas memilih pasangan hidup atau berkawan dengan siapapun. Tetapi tidak bebas dalam hal persepsi tentang kecantikan. Selamanya wanita akan memandang kecantikan adalah kehormatan, harga diri dan penentu masa depan. Cantik adalah hasil dari ''prosesi ritual'' dengan ramuan-ramuan serta body language yang lebih berharga dari barang apapun.Tapi ingat! Kecantikan dalam modernitas adalah konstruksi social. Dalam dunia kapitalis ia adalah komoditas. Kecantikan dikonstruk dalam parameter-parameter kelangsingan tubuh, kehalusan kulit dan keseronokkan penampilan. Kecantikan wanita jadi semacam “human resources” bagi profesi. Ia akan menjadi alat utama baginya untuk mendapatkan uang dan status sosial. Dengan kecantikannya wanita bisa, mempermainkan dan memanipulasi kesadaran pria untuk limbung dalam keelokan dan desire. Setelah itu seorang pria bertekuk lutut di hadapannya untuk mengorbankan segalanya, mungkin harta bahkan harmonitas keluarga, perasaan anak-istri.Uang mengalir ke kantong wanita melalui kerja keras seorang pria, dan wanita cuma membutuhkan alat “pelican” berupa “'kecantikan''. Begitulah kira-kira pandangan seorang naif yang terlalu frustasi dengan modernitas. Kapitalisme mampu mengontrol tiap sisi kehidupan manusia. Tak terkecuali gerakan feminisme, kesetaraan gender dan emansipasi. Semuanya telah menjadi komoditas yang dapat diperdagangnya untuk mendatangkan uang. Gerakan feminisme tak lebih dari sekadar kampanye para wanita agar berani mengagumi dirinya untuk kemudian menuntut kebebasan sebebas-bebasnya, termasuk hal-hal konsumtif. Lalu industri akan membuat iklan, menjual produk dengan dalih memenuhi kebutuhan wanita yang kini telah terkungkung dalam bayangan-bayangan kecantikan. Pria harus mempersembahkan gaji bulanannya untuk membelikan kosmetik bagi wanita, mengawali perjalanannya ke tempat kerja dengan mengantar wanita ke salon kecantikan, Spa, pedikur, manikur, dan mengisi waktu liburannya dengan shoping.Aku pun ingat puisi Joko Pinurbo, ''Aku cantik, Aku ingin tetap mempesona, Bahkan jika ia yang di dalam cermin merasa tua dan sia-sia''.Lalu dimana letak kehormatan wanita? (maaf) Bibir, dada atau paha? Atau sesungguhnya ada sisi lain yang lebih mulia dari itu, yang terkait deng martabat dan kehormatan, iner beauty, tapi luput ditonjolkan. Andai saja feminisme membela wanita pada alas yang lebih filosofis. Tentu selain samping advokasi terhadap women violence, juga mengkampanyekan nilai-nilai universal yang terkandung dalam sisi-sisi feminism, seperti prestasi, kecerdasan, kasih sayang, pengabdian, spiritualitas, kedamaian, perawatan, dan kelembutan. Sehingga tak ada lagi Oedipus yang membunuh ayahnya dan memperistri ibunya sendiri. Wallahu a’lam bisshawab.

Jejak Perseteruan Tiga Kawan

Rahmi Husein dan Mukhlis Tapitapi, begitupun Rahmi dengan Rusli Djalil ‘berseteru’ saat akhir masa tugasnya, padahal diantara mereka ada jejak pertemanan sangat kuat.
Ketiganya sama-sama mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). M. Rahmi Husein dan Mukhlis Tapitapi, bahkan mencapai puncak tertinggi dalam organisasi hijau hitam itu. Bedanya, Rahmi yang akrab dipanggil ‘Juned’ hanya menjadi Ketua Umum HMI Cabang Manado, sementara Muklis atau Ulis, begitu sapaannya, mencapai posisi Sekretaris Jenderal PB. HMI di Jakarta, kemudian menembus tingkat Ketua Umum PB HMI, meskipun hanya sebagai ‘pejabat’ karena kisruh internal yang mendera PB HMI di masa kepengurusan Ketua Umum PB-HMI, Kholish.
Beda dengan keduanya yang lebih senior, karir ke-HMI-an Rusli Djalil mungkin hanya sampai level presidium Cabang.Pertemanan ketiganya – karena latar belakang aktivis HMI – juga sangat kuat. Dari sisi intelektualitas, tak diragukan lagi. Ini bisa dilihat dari tingginya frekuensi jam terbang ketiganya menjadi nara sumber pada setiap kegiatan HMI maupun kegiatan lain.
Tak hanya itu, sebagai alumni dan senior di HMI, mereka sering menjadi panutan dan harapan para yunior, menjadi semacam konsultan untuk memberikan brain storming dan brain washing-lah. Apalagi Juned, yang sebelum menduduki Ketua KPU Provinsi adalah sosok muda yang malang melintang di jalur organisasi non pemerintah atau LSM. Salah satu LSM yang pernah diketuai Rahmi “Juned” Husein adalah Forum Studi Halmahera (Foshal) yang banyak bergerak di bidang advokasi dan pelatihan, juga gencar mengkampanyekan kesetaraan gender. Makanya sejumlah mahasiswa Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU) sering mengakui keunggulan Juned di bidang gender. Maklum, Rahmi selain aktivis LSM juga dosen pengasuh mata kuliah Sosiologi Gender di kampus itu.
Sementara sepak terjang Ulis Tapitapi di daerah ini tak terlalu menonjol sebelumnya, kecuali paska memimpin PB. HMI, Ulis kembali ke Ternate dan ikut adu nasib dalam bursa seleksi anggota KPU Provinsi dan akhirnya sukes. Beberapa waktu kemudian, Ulis dan sejumlah tokoh muda Halmahera Utara, mendirikan Media Halut Pres, sayangnya media besutannya ini kini tak lagi eksis.
Dalam urusan media, Rusli Djalil boleh dibilang yang paling eksis ketimbang kedua kawannya itu, sebab selain sebagai jurnalis kawakan Maluku Utara, ia juga tercatat sebagai koresponden beberapa media nasional, sebut saja D&R, Trust, Forum Keadilan dan beberapa media lainnya. Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) ini, bahkan menjadi inspirator pada beberapa media yang pernah eksis di Maluku Utara, seperti Ternate Pos dan Mingguan Aspirasi.
Sebelum menjabat tugas di KPU Maluku Utara dan KPU Halbar, ketiganya sangat dikenal, terutama di kalangan aktivis mahasiswa, pegiat LSM dan Pers. Bahkan tak hanya di Maluku Utara tapi juga di luar Maluku Utara. Ketiganya makin “populer” ketika berada di KPU, lembaga yang mengurusi hajatan pemilu dan pilkada ini. Popularitas mereka bahkan mencapai puncak kulminasi ketika kinerja lembaga penyelenggara pemilu ini jadi sorotan publik saat carut-marutnya jadwal tahapan pemilu, mulai kampanye, hingga molornya penetapan pemenang pilgub-pilwagub.
Justru gara-gara Pilgub 2007-2008 itu pertemanan di antara mereka berubah menjadi perseteruan. Dan perseteruan ini, menurut sumber Genta sebenarnya sudah ditabuh sejak kisruh KPU Provinsi dalam penetapan jadwal kampanye dan tahapan pilgub itu. Puncaknya terjadi ketika Mukhlis mengambil sikap undur diri dari jabatan ketua Pokja pendaftaran dan kampanye. ”Perseteruan itu sebenarnya bermula dari pertemuan dengan incumbent di Hotel Saripan Pasific, 30 September lalu,” ungkap sumber yang tak mau dimediakan itu. Ceritanya, pertemuan itu sebenarnya di tolak keras oleh Mukhlis, karena menganggap tidak etis bagi kandidat pasangan gubernur yang lain. Namun Rahmi berdalih itu sebatas koordinasi (Baca Bola Liar Pilkada, GENTA edisi V).
Puncak perseteruan –meski diam-diam – terjadi pada Minggu 21 Oktober 2007, ketika Mukhlis menggelar konferensi pers menyatakan mundur dari ketua Pokja KPU Provinsi. Alasan Mukhlis, sebagai bentuk tanggung jawab moralnya atas kisruh tahapan pilgub. Dan ia mengakui ada kekeliruan serius dilakukan KPU Provinsi, terkait aspek prosedural dan substansial hingga semua keputusan jadwal kampanye bermasalah. Ulis juga buka kartu pertemuan mereka dengan Incumbent Thaib Armaiyn di Hotel Saripan Pacific, yang membatalkan kesepakatan 28 September. Pertimbangan Ulis dalam pertemuan itu, untuk kembali ke 5 Oktober sudah terlambat dan akan kehilangan muka di hadapan publik. Tapi jadwal tetap saja kembali ke 5 Oktober pasca pertemuan itu. Praktis sejak undur diri dari Pokja, Mukhlis tak lagi berurusan dengan tahapan-tahapan Pilgub selanjutnya sampai berbuntut pada hasil Pilgub yang tak kunjung pasti.
Perseteruan Pecah
Kalau selama ini perseteruan ini luput dari khalayak dan kesannya sangat tertutup, pada Maret lalu, perseteruan Rahmi - Mukhlis pecah dan mulai menjadi “perang terbuka”. Perseteruan ini dipicu karena surat Rahmi CS yang tak menginginkan Mukhlis comeback lagi di KPUD. Maklum, terkait dengan seleksi calon anggota KPU Provinsi, Mukhlis ikut mendaftar untuk diseleksi menjadi anggota KPUD periode 2008-2013.
Keberatan Rahmi CS yang dituangkan pada surat berkop KPU bernomor 270/31/KPU/2008 tertanggal 14 Maret lalu, yang dikirim ke tim seleksi dipicu karena alasan, Mukhlis (dan juga Kasman Tan, anggota KPUD Halbar) tak memenuhi syarat sebagai anggota KPU. Memiliki kinerja buruk pada saat Pilkada, dan setumpuk catatan “buruk” yang menjadi lampiran surat itu. Singkatnya, mereka meminta tim seleksi tak mengakomodir Mukhlis sebagai calon anggota KPUD Maluku Utara.
Surat itu direspon tim seleksi. Ketua tim seleksi KPU Provinsi Malut Sri Haryanti Hatary, mengaku mereka langsung melakukan konsultasi dengan KPU pusat lantaran Rahmi CS menggunakan kop KPU Provinsi Malut. Hasil konsultasinya memang tak dibeberkan Sri. Tapi jelasnya, KPU pusat masih menganggap Mukhlis tetap selaku Plt Ketua KPUD Malut. Tapi tim seleksi, kata Sri masih tetap akan mempelajari substansi surat Rahmi CS karena berkaitan dengan tahapan uji publik.
Sementara bagi Mukhlis sendiri, surat itu sebagai pertanda “perang terbuka” antara dirinya dan Rahmi CS. ”Surat itu tendensius,” katanya menanggapi. Meski awalnya ia tak ingin menanggapi secara serius, namun luluh juga. Lantaran menganggap surat itu sangat tidak objektif. Mukhlis menjelaskan, soal pengunduran dirinya dari ketua Pokja pendaftaran dan kampanye seperti yang dituduhkan Rahmi CS dalam surat itu karena ia tak mau dikelilingi oleh orang-orang yang tidak kredibel. ”Semua tugas Pokja diambil alih Rahmi. Semua langkah Rahmi terkait dengan penjadwalan Kampanye Pilkada tidak konsisten alias maju mundur. Rekapitulasi suara penuh spekulatif dan inprosedural. Kondisi ini membuat KPUD Provinsi kehilangan kredibilitas,” tandasnya.
Pembekuan Halbar salah satu contoh keputusan Rahmi yang spekulatif dan inprosedural. Langkah Rahmi itu menurut Mukhlis cuma berdasarkan surat anggota Panwas tanpa sepengetahuan ketua dan anggota Panwas lainnya. Padahal saran KPU pusat sendiri meminta KPUD Provinsi memulihkan status KPUD Halbar sebelum Pleno rekapitulasi 14 November lalu tak diindahkan. Dua kali KPU pusat melakukan supervisi terhadap kisruh Pilkada Malut dengan berbagai pertimbangan, dianggap oleh KPUD Provinsi sebagai surat kaleng.
Dengan mengklarifikasi surat itu menurut Mukhlis semata-mata menjaga kredibiltas KPU. Karena KPU adalah lembaga negara yang bertanggungjawab terhadap publik. ”KPU itu institusi hirarkis,” katanya. Mukhlis menuding, Rahmi adalah sosok yang tak memiliki karakter. Toh, bagi Mukhlis, upaya penjegalan yang dilakukan Rahmi sama sekali tak berpengaruh pada dirinya. ”Masyarakat bisa menilai sendiri siapa saya,” katanya yakin.
Sementara buntut tidak sedapnya hubungan perkawanan antara Rahmi dengan Rusli Djalil, yang biasa disapa Uchilie, menyeruak pasca Pleno Rekapitulasi dan Penetapan hasil suara pasangan calon gubernur-wakil gubernur oleh KPU Halbar, Minggu, 11 Nopember 2007 lalu. Hasil Pleno itu menetapkan keunggulan pasangan cagub-cawagub Abdul Gafur-Abdurrahim Fabanyo. Hasil Pleno itu dianggap berbau “rekayasa” oleh pendukung pasangan calon Thaib Armayin-Abdul Gani Kasuba, yang lantas mendesak Rahmi Cs di KPU Provinsi untuk melakukan penghitung ulang terhadap hasil akhir komposisi suara di Halbar (Baca Menunggu Siapa Dilantik, GENTA edisi VI).
Gayung pun bersambut, Rahmi yang ketua KPU Provinsi saat itu serta salah satu anggotanya Nurbaya Soleman yang paling getol merespon tuntutan itu. Bahkan besoknya, Senin, 12 Nopember 2007, saat Rusli mengantarkan hasil Plenonya ke KPU Provinsi, dia disodori sejumlah blangko sama dengan yang dibawanya, tapi hasil rekapitulasinya berbeda. Ketika Rusli diminta menandatangani berkas-berkas versi KPU Provinsi itu namun ia menolak dan bersikukuh dengan hasil ketukan palunya.”Masa hasil pleno terbuka harus dibatalkan saya dan dua kawan KPU Halbar. Harusnya, jika dia mau batalkan putusan pleno KPU Halbar, harus dalam pleno terbuka KPU provinsi Maluku Utara,” ujar Rusli.
Singkat cerita, karena besoknya lagi, Selasa, 13 Nopember 2007 telah dijadwalkan Pleno penetapan dan pengesahan pemenang pilgub-pilwagub Maluku Utara oleh KPU Provinsi, seperti tak mau menunggu lama, Rahmi mengambil keputusan membekukan KPU Halbar sekaligus menonaktifkan Rusli Djalil dan anggotanya.
Tapi kisahnya ternyata tak sesingkat yang dibayangkan, melainkan jadi panjang, berliku dan rumit hingga detik ini. Barangkali bagi ketiganya secara terpisah hendak mengeksplorasi potensi dirinya dalam momentum pilgub ini. Seakan ini, jadi ajang “uji taji” dan “uji nyali” bagi ketiganya membuktikan sejumlah teori politik yang mereka kuasai, sekaligus “unjuk gigi” strategi taktik yang hampir khatam mereka utak-atik semasa menjadi aktivis, begitu penilaian sejumlah aktivis dan politisi muda daerah ini.
Apa tanggapan Rahmi soal perseteruan ini? Genta sendiri sulit melakukan konfirmasi karena nomor telepon seluler yang biasanya digunakan sudah tak berfungsi lagi. Beberapa kerabat dekat Rahmi pun tak tahu menahu keberadaannya kini. ”Kami sudah tak pernah kontak dan SMS lagi, ” ungkap salah satu karibnya. Bahkan beberapa teman yang selama ini dekat dengan keduanya enggan berkomentar soal perseteruan Rahmi dan Mukhlis. ”Itu urusan pribadi mereka, ” kata Herman Oesman, karib dekat Rahmi yang juga dosen sosiologi di UMMU yang pernah bersama-sama Rahmi menjadi editor bukunya Syaiful Bahri Ruray, Balada Republik Wonge dan Menjemput Perubahan.
Luar biasanya, meski ketiganya akhir-akhir ini, relatif menutup diri dalam komunikasi satu sama lain, namun dalam beberapa kesempatan komunikasi secara terpisah dengan Genta, mereka masih saling menanyakan kabar keberadaan, kondisi kesehatan dan keadaan keluarganya.“Mungkin akhirnya hanya jejak perkawanan di antara ketiganya, juga sisi manusiawi ini yang bisa kembali mendamaikan ketiganya,” kata sumber yang akrab dengan trio kontroversial dalam kisruh pilgub Maluku Utara ini. Tapi mungkin itu terjadi setelah “jalan gelap” politik Maluku Utara saat ini menemukan titik terang.Semoga perseteruan itu hanya karena beda pemikiran di bidang politik, bukan perseteruan pribadi.
Mereka di Mata Kawan
Ada ungkapan bijak “Katakan siapa kawan-kawanmu, dan akan kukatakan siapa engkau”, apalagi bila sosok itu dikesankan sendiri oleh sohib dekatnya, tentu lebih jelas lagi.
Ida Nasim, tentang Rahmi dan Rusli
Saat saya asyik nonton TV di kantor, Kamis sore, 22 Nopember 2007 lalu, tiba-tiba muncul berita mengenai “kerusuhan” di Maluku Utara dalam pilgub-pilwagub. Berita ini mengusik perhatian, bahwa KPU Halbar dan KPU Provinsi diduga sebagai “sumber masalah” dalam kekisruhan pilkada itu.Ketua KPU Halbar adalah Rusli Djalil, yang biasa disapa Uchilie.
Uchilie dan anggotanya dinonaktifkan oleh KPU Provinsi karena dianggap melakukan penggelembungan suara pada salah satu pasangan calon. KPU Provinsi kemudian mengambil alih wewenang dan tugas-tugas KPU Halbar.Selanjutnya, Ketua KPU Provinsi adalah M. Rahmi Husein, yang biasa disapa Junaedy. Junaedy dan salah satu anggotanya kemudian di-non aktifkan juga oleh KPU Pusat karena dianggap tidak netral, berpihak pada salah satu pasangan calon dalam pilkada itu.
KPU Pusat lalu mengambil alih kewenangan dan tugas-tugas KPU Propinsi Maluku Utara.Pengambil-alihan kewenangan KPU Provinsi disertai dengan pe-non-aktifan Rahmi Husein dilakukan, setelah KPU Provinsi mengumumkan pemenang pemilihan pilkada Maluku Utara adalah pasangan Thaib Armaiyn–Abdul Gani Kasuba.Ibarat rantai kekisruhan yang berjenjang, apa yang dilakukan oleh KPU Provinsi terhadap KPU Halbar, akhirnya ditiru juga oleh KPU Pusat terhadap KPU Propinsi.
Meskipun argumentasinya berbeda, namun beresensi sama, yakni otoritarianisme.Terlepas dari kontraversi yang berkembang, kedua orang ini (Rusli dan Rahmi), yang oleh sebagian masyarakat Malut dituding sebagai sumber kekisruhan, adalah kawan lama saya, ketika kuliah di Universitas Sam Ratulangi Manado.Mereka berdua adalah aktivis Forum Komunikasi Mahasiswa Muslim Manado (FKMM) dan HMI Cabang Manado. Sedangkan saya adalah aktivis Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) Manado.
Kami memang beda organisasi, tapi apa berarti beda garis politik? Itu wacana nilai yang muncul saat itu. Orang menyebut mereka (Rahmi dan Rusli) sebagai aktivis "kanan", sedangkan saya digolongkan sebagai aktivis "kiri komunis". Entah kategori ini pengertiannya relevan atau tidak untuk saat itu.Kami berteman cukup baik. Di berbagai forum diskusi dan aksi, kami selalu berdebat dan bertukar fikiran. Sekali-kali ada juga perbedaan pandangan, terutama soal memilih metode aksi, tapi itu semua kami pahami sebagai dinamika demokrasi.Secara personal, saya memang lebih dekat dengan Rusli Djalil. Saya kenal betul kehidupan keseharian dan keluarganya. Sebelum di Manado, saya dan Rusli berteman saat masih SMA (alumni SMA Negeri 1 Ternate). Kami belajar karate bersama di KODIM Jalan Pahlawan Revolusi Ternate, dan tinggal di Keluarahan Sangaji, Ternate Utara. Juga aktif sebagai Pelajar Islam Indonesia (PII) Maluku Utara dan ikut mendirikan kelompok Study Islam "Triple R", singkatan dari Raudhah Rabby Radhiyah. Arti Indonesia-nya adalah Generasi atau Kelompok Yang Diridhai Allah.Di PII dan Kelompok Study inilah, saya mengenal Rusli Djalil kesehariannya. Termasuk hal-hal yang pribadi, seperti soal pacar dan malas mandi. Kebetulan untuk urusan pacar, kami berdua tergolong "pemalu".
Rusli menyukai jurnalistik dan sejarah.Dulu, kami mengagumi tokoh Ikwanul Muslimin seperti Hasan Al Bannah, kami juga suka dengan Sayyid Qutub, Ibnu Taymiyah, Abdul A'la Almaududi, juga suka dengan Revolusi Perancis. Saat SMA Revolusi Perancis sering diajarkan oleh guru sejarah kami, namanya Pak Thahir. Orangnya lucu, kepalanya botak panjul dan agak susah melafalkan huruf "r", tapi dia menerangkan prinsip trias politika dengan baik.
Beliau juga yang mengenalkan pada kami ilmuwan kenegaraan pencetus gagasan trias politika, seperti John Locke dan Montesquieu. Khusus untuk nama ilmuwan yang terakhir ini, kalau nama panjangnya dilafazkan oleh beliau pasti kami seisi kelas tertawa.Rusli adalah kawan yang baik. Orangnya cerdas, suka menulis, punya sifat humanis dan suka menolong orang. Untuk olahraga dia suka karate, kungfu dan bilyard. Namun berantakan dalam urusan penampilan. Loh, wong dia jarang mandi dan rambutnya dibiarkan awut-awutan. Paling suka dengan celana jeans belel. Kadang sampai kucel dan lusuh, karena tidak dicuci selama berminggu-minggu. Kalau mengunjungi kamar kost-nya, tidak bisa membedakannya dengan “gudang”, he..he...
Tapi di situlah muncul inspirasi untuk menulis dan bikin karya yang bermutu.Terhitung beberapa kali tulisannya dimuat di Manado Post dan beberapa media nasional. Aneh tapi nyata. Karakter dan tradisi slengean Rusli ini mengingatkan saya pada joke-joke di kalangan teman-teman lama, komunitas-komunitas proletar yang hidup antara 50-60-an di Indonesia ketika berjuang untuk membangun “nation” Indonesia. Ada joke yang paling popular saat itu: “Semakin larut malam, semakin progresif. Semakin lapar, semakin radikal, dan Semakin tidak mandi-mandi, semakin revolusioner”.Joke seperti ini, sebetulnya tidak lebih dari filosofi “penyemangat” untuk menghadirkan idea dan karya-karya bermutu yang ideologis. Bahwa dalam sikon seperti itulahlah akan lahir idea dan kerja yang revolusioner. Saya tidak tahu, apakah Uchilie memang meniru tradisi seperti ini atau memang dari sononya, dia sudah begitu, he.. he..
Awal Desember 2007, Uchilie menelepon saya, katanya Dia sedang di Jakarta untuk urusan terkait kisruh Pilkada Malut. Saya sangat senang dan gembira karena dia ajak bertemu. Kebetulan saya pun ingin bertemu untuk beberapa urusan. Di antaranya, mengajak dia untuk hadir pada acara diskusi publik di kantor JMC (Jakarta Media Centre-red), karena sebelumnya dia tidak bisa hadir pada acara expert meeting di Twin Plaza Hotel, alasannya tidak mendapatkan ticket pesawat, meskipun awalnya dia sudah meyakinkan akan hadir.
Uchilie adalah kawan lama yang belum sempat ketemu semenjak saya hengkang dari Manado pada 1996. Setelah kurang lebih 11 tahun tak bertemu, saya membayangkan dia pasti sudah berubah. Paling tidak soal penampilannya. Apalagi posisinya kini Ketua KPU di kabupaten. Pasti ada tuntutan untuk berpenampilan necis karena selalu berhadapan dengan pemerintah, DPRD dan pejabat publik lainnya. Apalagi kebiasaan pejabat yang melaksanakan rapa-rapat rutin atau audiensi di hotel-hotel mewah dan gedung-gedung ber AC. Juga selalu berhadapan dengan wartawan untuk konferensi pers.Saya dengar dari kawan-kawan dekatnya, Uchilie sudah mulai terbiasa menggenakan jas dan dasi. Wah, pasti sudah keren habis!
Namun ternyata, Uchilie ya tetap Uchilie. Masih seperti yang saya kenal sebelas tahun lalu ketika masih di Asrama Mahasiswa Ternate, di Kleak Manado. Tidak ada perubahan sediktipun.Dengan gerakan yang “grusu dan refleks” karena terbiasa dengan gerakan kungfu, dia membukakan pintu dan menampakkan diri di balik pintu kamar hotelnya dengan posisi siap jingkang. Jingkang adalah semacam gerakan kuda-kuda yang bertumpu pada kaki. Posisi ini biasa dalam beladiri Kungfu disebut posisi siap siaga jika menghadapi serangan musuh. Kamipun bersalaman sambil berpelukan dan tertawa.
Ketika melihat rautnya yang berantakan dan cara dia mempersilahkan duduk, saya cuman tersenyum dan membayangkan begini tampang orang yang menjadi pembicaraan akhir-akhir ini di Maluku Utara? Cuman beginikah penampilannya?“Baru menghadapi politik seperti ini, sudah keliatan kurus dan lusuh”, sapaku sambil memperhatikan tingkahnya.“Kita kira ngana pake jas gagah dengan celana itam dan sepatu mangkilap”, tanyaku dalam dialek Manado sambil tertawa. Uchilie hanya tersenyum kecut. Mungkin dia agak dongkol dengan sejumlah pertanyaan dan sindiran yang kulontarkan.
Uchilie, memang sama sekali tidak berubah. Masih tetap dengan celana belel. Rambutnya masih tetap awut-awutan. Kali ini dia pake celana pendek yang tidak jelas mereknya dan keliatan agak besar. Dan tampak kusut sana-sini. Entah kena setrika atau tidak, yang jelas masih keliatan belelnya. Atasannya kemeja warna putih bergaris-garis tanpa merek. Baju seperti ini di Pasar Tanah Abang, Jakarta mungkin hanya Rp. 25 ribuan. Mukanya keliatan lelah dan agak kusut. Tapi masih bisa tersenyum dan tertawa ketika ku ajak bercanda. Beginilah penampilan “aslinya”…..Lain Rusli lain pula dengan M. Rahmi Husein. Kawan yang satu ini, secara personal saya kurang begitu dekat. Tapi saya sedikit banyak mengenal dia dari forum-forum diskusi dan beberapa kawan dekat saya, yang kebetulan juga kawan dekatnya dia.Rahmi adalah salah satu tokoh/pentolan HMI Cabang Manado. Memiliki wawasan luas dan sangat paham dengan gagasan “pembaruan Islam-nya Cak Nur” yang diusung HMI. Menguasai Nilai Identitas Kader HMI yang menjadi landasan moral dan politik HMI.Rahmi berpenampilan cukup flamboyant. Orangnya rapi dengan kumis tebalnya. Bersama Coen Husein Pontoh (sekarang di Amerika), Yayat Biaro (staf ahli Departemen Hukum dan HAM, kata Katamsi Ginano), mereka membuat HMI Manado menjadi terkenal. Di era kepemimpinan Rahmi dan Yayat inilah HMI Manado mulai melakukan aksi massa dan turun ke desa untuk advokasi.
Saya masih ingat Kasus Kaneyan, Minahasa. HMI Manado turut serta melakukan advokasi, begitu juga dengan Newmont dan beberapa kasus petani cengkeh di Manado.Rahmi adalah politisi, dan cukup kawakan untuk mengerti pertarungan politik dan teori konspirasi. Ini adalah pendapatku ketika mereka berhasil mengalahkan Coen Husein Pontoh dalam pertarungan memperebutkan kursi Ketua HMI Cabang Manado.Dia juga pribadi yang ramah. Banyak rekan-rekan dari Ternate menyebutnya sebagai orang sabar, tekun dan humanis. Suka menolong orang ketika susah dan membantu kawan untuk memecahkan masalahnya. Setidaknya ini adalah pengakuan beberapa kawanku yang kebetulan juga menjadi kawan Rahmi.
INTINYA kedua kawan saya ini, baik Rusli Djalil maupun M. Rahmi Husein telah membangun integritas mereka jauh sebelumnya untuk menjadi politisi yang bertanggung jawab. Setidaknya sejauh yang saya kenal, "track record" mereka adalah orang yang dapat dipercaya dan bertanggung jawab dengan pekerjaannya.Nah kondisi ini menjadi paradoks dan memunculkan sejumlah pertanyaan, ketika media massa maupun kalangan masyarakat, terus-menerus mereproduksi opini untuk menyudutkan mereka sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam kisruh pilkada Maluku Utara.
Apakah benar, KPU Halbar bertanggung jawab terhadap kisruh pilkada Maluku Utara karena mengabaikan peringatan dari KPU Propinsi? Dan apakah benar juga KPU Propinsi yang menjadi biang kekisruhan karena telah mengumumkan pemenang pilkada Maluku Utara dan tidak mau tunduk pada KPU Pusat?Atau jangan-jangan, ada skenario politik lain, yang jauh lebih kuat, dan kedua orang kawan ini, secara sadar atau tidak "telah terjebak" dalam arus skenario kotor ini. Dan mereka seperti orang yang kesasar dan tercebur lumpur. Wallahu’alam bissawab.. Biarlah Rusli dan Rahmi yang akan menjawabnya.Yang pasti Pemilu 2009 sudah dekat. Dan seperti biasa para “petualang politik” sedang menjalankan orderan untuk berbagai proyek politik. Agaknya Kekuasaan di negeri ini “libidonya sedang birahi”, makanya sedang mencari penyalurannya. Tak peduli dengan segala bencana di negeri ini.Marilah kita mencoba untuk menelusuri hal-hal di balik kekisruhan yang terjadi ini. Mudah-mudahan ada pelajaran demokrasi dan nilai-nilai moral yang masih berharga buat kita semua.Bagi rekan-rekan dari Maluku Utara terutama para politisi, pemimpin parpol, kandidat gubernur (semua kandidat)), pemerintah daerah, aparat polisi, tentara, akademisi, aktivis NGO dan mahasiswa serta elemen masyarakat luas, marilah bersatu untuk membangun Maluku Utara lebih maju lagi.
Jejak Rekam Karir Muklis
Sosok ini sebelum 1998 mungkin hanya popular di kalangan warga HMI, aktivis mahasiswa senior atau kalangan tertentu. Namanya mencuat ke permukaan ketika sebagai Sekjen ia dipercayakan sebagai Pejabat Ketua Umum PB . HMI, menggantikan Kholish. Bahkan ada dugaan Ulis berada dibalik kejatuhan Khlosih itu.
Sejumlah sumber alumni HMI dan aktivis HMI asal Maluku Utara di Makassar yang mengaku kenal persis siapa Muklis, atau mengaku dekat dengan sohibnya yang juga alumni HMI, mengisahkan kepada Genta, Mukhlis terkenal cermat menghitung “momentum” plotik sebagai peluang memperkukuh eksistensinya. Setidaknya itu terjadi semasa ia meniti karir ke-HMI-an mulai tingkat Komisariat, Ketua Umum HMI Cabang Makasar, Badko, hingga “merebut” posisi Ketua Umum PB. HMI dari Kholish. Sepertinya kecermatan itu kembali terjadi saat dia menggantikan posisi M. Rahmi sebagai Pelaksana tugas ketua KPU provinsi.Ulis sendiri, menurut sejumlah sumber itu, sosok yang tegas, cerdas dan sangat menguasai seluk beluk aliran syiah dalam Islam.
Ia juga terkenal bersih dan telaten. “Bila datang ke sekretariat cabang, hal pertama yang ia lakukan ialah memeriksa kebersiahan kamar mandi,” kata sumber yang tak mau dimediakan. Agaknya Ulis punya prinsip “mengukur kebersihan seseorang atau suatu keluarga, lihatlah kersihan kamar mandinya”.Diakui, sosok ini ramah dan sederhana dalam perilaku kesehariannya.
Penampilannya amat sederhana, bahkan sehari-hari keluar rumah bersilaturrahmi atau sekadar kongkow-kongkow dengan sesama kawan, Ulis hanya menengenakan oblong putih yang terlihat tua, dengan lingkaran lehernya yang sudah terlihat melar.Seperti juga Juned dan Uchilie, Ulis adalah kader HMI yang tuntas dengan “ilmu” dan “ketrampilan” ke-HMI-an, sebabnya intelektualitas dan integritasnya pun telah lama terbina.

Moral dan Kekuasaan



Moral dan Kekuasaan


PERJALANANpartai-partai politik di Indonesia mengalami pasang surut yang luar biasa dalam beberapa tahun ini. Selain kepedulian terhadap konstituen (baca: masyarakat), juga partai politik ternyata lebih menyisakan kecenderungan untuk memperjuangkan kepentingannya. Alih-alih, partai politik senang “bertarung” dalam tataran wacana kekuasaan, dan jarang memasuki wilayah yang selama ini menjadi kebutuhan masyarakat.
Bagaimana dengan partai-partai Islam? Bisa dikatakan setali tiga uang, berbagai performance politik yang ditampilkan, termasuk komunikasi politik masih berada dalam “perebutan” hegemoni untuk mendulang simpati masyarakat. Kita cenderung menafikan gebrakan partai politik Islam yang santun bersuara dan bergerak pada tataran terbawah untuk melakukan pendampingan terhadap berbagai penderitaan yang dialami masyarakat.
Kecenderungan lain yang muncul adalah tampilnya konflik secara internal yang tidak mampu ditata-kelola para politisi secara lebih berenergi bagi keberlangsungan program-program partai. Partai hanya dikenal masyarakat ketika geriap pesta politik digelar. Setelah itu, partai seperti kehilangan nuansa, sunyi dan seolah-olah mati suri. Program-program yang diancangkan dalam berbagai rapat kerja atau pun juga “fatwa” kandidat yang hendak memimpin satu partai politik terkadang tak mampu terlihat nyata ketika partai itu berkibar.
Pada konteks ini, peran partai politik –termasuk berlabel Islam—sudah semestinya dikelola lebih pada konteks sosial, artinya, partai sudah waktunya digeser untuk tidak lagi melihat kepentingan masyarakat dalam skope yang lebih sempit, hanya berdasarkan ideologi yang ada. Karena sekali lagi, partai hanyalah sebagai alat agregasi dan penyalur aspirasi masyarakat untuk tujuan politik mereka yang lebih mulia, yakni bagaimana mereka dapat menggenggam harapan-harapan, bukan menggenggam mimpi-mimpi. Yang terjadi, adalah partai justru menjadi alat kepentingan elit untuk meraih harapan-harapan sesaat melalui kekuasaan. Di sini yang harus diantisipasi adalah bermainnya kelompok oligarkhi dalam partai politik Islam, ketika kepentingannya tidak terwujud, dan masyarakat menjadi legitimator untuk “merestui” kepentingannya. Bila konteks ini terjadi, apa bedanya partai politik Islam dengan lintah darat ?
Menurunnya kecenderungan terhadap partai-partai politik, termasuk partai politik Islam, sudah harus ditafsir bahwa partai-partai politik mengalami dilema paling akut, yakni mulai menipisnya kepercayaan politik masyarakat. Untuk itu, gaya dan metode yang selama ini selalu diagungkan partai politik Islam harus dirubah, harus ada shifting paradigm (pergeseran paradigma), bahwa partai politik Islam, semata-mata untuk kemaslahatan ummat dan masyarakat, bukan untuk kepentingan elit. Dalam konteks ini, maka, kehadiran partai politik Islam harus terus dikawal, ditata-kelola dan diperbaiki, sehingga dapat menjadi alat politik paling efektif untuk memperjuangkan kepentingan ummat dan masyarakat. (Roesly Djalil)



GENTA UTAMA

Penguasa, Moral dan Kekuasaan

Mentalitas dan perilaku penguasa, sering dicap merugikan rakyat. Kebijakan yang ditempuh kerap kali lebih menguntungkan perorangan, kerabat dan sejawat ketimbang kepentingan umum. Maraknya praktek KKN dari konvensional hingga yang canggih tidak sejajar dengan keseriusan pemerintah memberantasnya?

Kisah tua dari China —tentang Khong Hu Chu dan murid-muridnya, ketika melintasi hutan dalam sebuah perjalanan, mereka bertemu seorang Ibu sedang menangis. Padri yang bijak itu meminta muridnya bertanya kepada si Ibu. Kenapa Ibu sedih? Ibu itu menjawab “Anakku tersayang baru saja dimangsa harimau. Bahkan suami saya pun beberapa waktu lalu ketiban naas yang sama, dimangsa harimau “. Lalu murid itu memberi saran “Kalau di sini banyak harimau buas, sebaiknya ibu pindah ketempat lain”. Si ibu menggeleng tegas tak setuju. Kenapa? — “Karena disini tidak ada penguasa yang menindas” Jawab sang Ibu tegas.
Usai melihat adegan itu, Kong Hu Cu berkata, “Wahai murid-muridku, ingatlah bahwa kekuasaan yang menindas lebih berbahaya dari pada harimau”. Darsis Humah mengutip kisah ini dalam tulisannya “Kekuasaan” (Lihat: Horizon)
Adakah yang berubah dari wajah kekuasaan setelah kisah si Ibu, harimau dan Khong Hu Cu? Barangkali ya. Tapi perubahan diffiren dengan hukum sejarah, siklus yang berulang. Hingga kita, setelah belajar berabad-abad dari Gadjah Mada, Ken Arok juga Nuku, Banau, Babullah, Khairun, bahkan 62 tahun setelah Indonesia mrdeka — rupa kekuasaan dan penguasa belum bermetamorfosis menjadi pemimpin yang idel. Karena itu moral dan kekuasaan terus dicarikan titik temu, untuk menghindari watak kebuasan, eksploitatif dan tinggi hati, dan mentalitas destruktif lainnya.
Jika moralitas sebagai ekspresi dari sistem nilai yang diyakini, idealnya ia mampu mengarahkan perilaku individu yang bersangkutan pada koridor yang benar. Bila asumsi itu dijadikan dasar, maka perilaku sebagian penguasa dan elit politik saat ini bertentangan secara diameteral dengan nilai dasar (fundamental value) yang diyakini sebagai nilai luhur bangsa; nilai-nilai religuisitas dan kultural. “Moralitas itu masalah sikap hidup, sikap pribadi dari seseorang dan masalah moralitas ini mempunyai kaitan erat dengan masalah kultur”. Begitu pandangan Adnan Amal, Budayawan dan mantan Ketua Pengadilan Tinggi Maluku.
Moralitas elit kita adalah elit politik yang “miskin hati” kata Komarudin Hidayat sebagaimana dikutip oleh Dr. Zainuddin Maliki dalam bukunya “Politisi Busuk”. Buku ini dapat dijadikan rujukan untuk mengenali wajah elit Politik dan Penguasa kita. Dan elit adalah domain mereka yang dapat menentukan “hitam” atau “putih”nya nasib rakyat, masa depan daerah juga bangsa ­— lihatlah bagaimana persoalan yang menumpuk dan terasa langgeng, katakanlah kemiskinan, pengangguran, kebodohan, derajat kesehatan dan harapan hidup, penegakan hukum dan sebagainya, belum tertangani dengan benar . Sementara di level elit, rakyat melihat dengan kasat mata bagaimana kepentingan individu, kelompok, kerabat, dan sejawat terus dirumuskan, diperjuangkan, dipertahankan dengan cara apapun. Ali Albar mantan anggota DPRD-GR yang mengundurkan diri tahun 1986 karena menolak nilai semacam itu, berkata tegas “Bagi saya perilaku itu tidak cocok, tidak sesuai dengan yang semestinya. Karena rakyat sekarang setengah mati. Bagaimana mereka hanya mementingkan diri sendiri?”.
Mentalitas yang tidak mencitrakan kokohnya integritas, mudah dijumpai. Fenomena perilaku mengejar accesories kemewahan dan kebendaan lewat cara instan dan hasrat meraih status sosial, pangkat atau jabatan serta privileges tertentu, telah membiakkan budaya terabas, kebiasaan potong kompas dan senang mem-bypass. Fakta tentang munculnya raja-raja kecil di daerah sebagai sisi buruk pemanfaatan peluang otonomi daerah, menyusul raja-raja besar di pentas nasional makin memperkuat sinyalemen tentang indikasi ke arah itu. Fenomena ini kata Koentjaraningrat dalam bukunya Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan sebagai “mentalitas mencari jalan paling gampang, mentalitas menerabas, tanpa perlu bersusah payah menggapai keinginannya. Mentalitas yang merendahkan mutu, bernafsu mencapai tujuan dengan cara-cara yang tidak lazim”.
Secara kasuistik, merujuk Koentjaraningrat misalnya seseorang dalam waktu sekejap, hanya menduduki posisi atau jabatan tertentu, dengan kewenangan yang biasa-biasa saja — begitu mudah mengoleksi beragam aksesori kemewahan dan sejumlah property. Ironisnya hal itu tidak sesuai dengan pendapatan atau gajinya, juga kapisitas SDMnya.
Meskipun dibentuk banyak lembaga pengawasan di internal pemerintahan maupun yang independen. Katakanlah Inspektorat, bawasda, BPK, KPK, bahkan jauh sebelum itu ada Waskat (pengawasan melekat), wajah pemerintahan yang bersih dan berwibawa belum kunjung nyata. “Inilah Negeri dengan seribu aturan, seribu undang-undang, ada seribu lembaga mengawal dan pelaksana undang-undang, tetapi juga di dalamnya ada 1001 penyimpangan” seloroh Gufran.
Mengapa hal itu terjadi? Pertama, proses mengawal sistem tidak cukup kuat, dalam pengertian hirarkis atau jenjang perjenjang. Kedua, soal moralitas (ini tidak langsung bersentuhan dengan soal keberagamaan), tetapi pada skala individual, berkaitan dengan orentasi hidup seseorang, yang kadang mengalami dilema orientasi antara menjadi atau memiliki (mengutip Erich Fromm), Menjadi ini tidak dalam pengertian capaian posisi sosial tertentu, tetapi dia bisa menjadi bermanfaat bagi banyak orang, memberi nilai baik bagi orang di sekitarnya. Terang Gufran. Sementara Ali Albaar melihat soal itu akibat karena elit penguasa, terlalu hubbuddunyâ, mencintai dunia hingga mengabaikan nilai moralitas.
Antitesa terhadap pernyataan Kong Hu Cu adalah bagaimana mengubah penguasa menjadi pemimpin atau kekuasaan menjadi kepemimpinan. Karena kepemimpinan konotatif dengan otoritas penebar kebaikan. Niccolü Machiavelli, — yang konsepnya oleh banyak kalangan sering dikutip secara tidak utuh — dalam Diskursus, 2003:11 menulis “Sebuah Republik sesungguhnya disebut beruntung jika ia memproduksi seorang manusia yang begitu bijak sehingga dapat membuat hukum-hukumnya terorganisasi dengan satu cara tertentu, sehingga kota tersebut dapat hidup tenteram di bawahnya”.
Pertanyaannya bagaimana memproduk seseorang yang bijak sekaligus penebar ketenteraman? Gufran A. Ibrahim salah seorang penggagas pentingnya pluralisme dan kearifan lokal mengatakan “Pemimpin yang berkulitas lahir di tengah masyarakat yang juga berkualitas”. Jika ditelisik lebih jauh, kualitas dimaksud bermakna luas, meliputi aspek pola pikir, orientasi nilai yang dianut, kemandirian hidup, dan seterusnya, kesemuanya itu berpengaruh terhadap kemerdekaan menentukan pilihan tentang layak tidaknya seseorang sebagai pemimpin yang memenuhi kualifikasi baik dan bijak — sebuah kebermutuan yang simetris antara yang memilih dan yang dipilih dalam proses yang demokratis dan juga bermutu.n (sofyan, ilham,mansyur, iksan)


Menyusuri Jejak Moral dalam Akar Kebudayaan Lokal
Kebudayaan lokal punya banyak pengalaman melahirkan informal leader dengan banyak kelebihan. Meskipun informal leader itu tidak menempuh pendidikan formal seperi formal leader saat ini.

Kebudayaan adalah seperangkat sisitem nilai yang dinamis dan dialektis. Sebagai mata air peradaban, ia mengalir, berhulu dan bermuara pada capaian kualitas karya, rasa dan karsa. Produk kebudayaan suatu bangsa adalah tolok ukur tingkat kemampuan dan pembudidayaan kreatifitas, akal budi dan nalar komunitas itu.
Moloko Kie Raha (kini Maluku Utara-red), adalah komunitas yang terbukti mampu mendayagunakan ketiga aspek diatas hingga menempatkan empat kesultanan di wilayah ini menjadi diperhitungkan dalam pergaulan nusantara, bangsa Arab, China, Melayu bahkan dunia. Sebuah pergumulan dalam interaksi global berabad-abad lamanya, memberikan pengayaan terhadap kebudayaan lokal. Perlu ditekankan, dalam pergumulan global yang sarat kepentingan, para Shultan Maloko Kie Raha membuktikan kualitasnya yang luar biasa dalam melindungi kepentingan rakyat dan menjaga integrasi wilayahnya.
Meski terbatasnya literatur dan narasi kebudayaan lokal, tetapi ada rekaman jejak kepemimpinan era kejayaan Moloko Kie Raha, yang diakui memiliki prestasi adiluhung. Mampu menyusun konsep pemeritahan dan ketatanegaraan yang relatif baik, tata hukum, sosial, politik, dan ekonomi yang memihak rakyat. Era di mana telah dikenal distribusi kewenangan atara Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif. Di bidang ekonomi telah dikenal pemeberdayaan ekonomi berbasis kewilayahan dan resources. Pertahanan keamanan dan teknologi militer yang fungsional, dan sebagainya. Kesemuanya untuk menjamin kesejahteraan rakyat dalam makna yang luas. Kenapa? Karena jika tidak, kejayaan kesulthanan itu tak mungkin berumur panjang.
Kekuasan dan pemimpin untuk rakyat adalah ciri informal leader dari produk kebudayaan lokal dimaksud. Pemimpin yang menggunakan kekuasaan sebagai instrumen penyejahteraan, tidak untuk dirinya. Tidak mengeksploitasi jabatan dan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, keluarga atau kelompok. Bahkan, “Bukan imam kasih makan Hi. Muhammad tetapi Hi. Muhammad kasih makan imam” demikian kisah orang tua Adnan Amal. Jadi, bukan karena jabatan orang hidup, tetapi bagaimana seseorang memaksimalkan potensi yang dimilikinya untuk fungsionalisasi jabatan dan kewenangan itu.
Persentuhan kebudayaan lokal, regional dan global, telah memberikan pengayaan dalam kebudayaan Moloku Kie Raha lewat proses asimilasi dalam waktu lama. Lalu membentuk khasanah kebudayaan Maloku Kie Raha yang berakar pada falsafah dan kearifan lokal, religiusitas Islam dan filsafat teologis lainnya. Dari nilai- nilai positif itu, melahirkan informal leader dengan integritas moral yang mengagumkan, meskipun tak pernah mengecap pendidikan formal seperti penguasa saat ini. Di sinilah seruan Adnan Amal “Kita harus kembali ke kepribadian kita masing-masing, harus kembali ke kultur kita yang lama” terasa relevan. Karena kultur lama kita, menyimpan banyak nilai strategis. “Sebenarnya kalau di Ternate, itu dalam dola bololo, atau pepatah dan petiti-petiti kita, banyak mengandung unsur-unsur nilai positif” Ungkap Adnan Amal. Kenapa kita tak merawatnya? Padahal dengan memadukan nilai lama yang positif dan konsep baru yang menjanjikan, mungkin jadi solusi melahirkan pemimpin yang kapabel, kompitabel dan dekat dengan keseharian rakyat.
Bagaimana caranya? …”kita harus kembali kepada nilai- nilai ini kita harus gali dari percontohan yang di berikan oleh nenek moyang kita. Tegas Adnan Amal. (sofyan daud)

Mengintip Keteladanan di Ranah Kekuasaan

Dalam budaya paternalistik ketokohan seorang mempengaruhi orientasi dan perilaku masyarakat. Posisi, status sosial dan luasnya pengaruh menempatkan sang tokoh sebagai icon atau pusat perhatian. Sering dijumpai dilema ketika pada posisi demikian tokoh tak mampu menebar keteladanan.

Keteladanan adalah nilai-nilai kebaikan dalam diri seorang tokoh. Tokoh adalah simbol atau icon, jadi pusat perhatian dan orientasi. Status dan luasnya pengaruh sang tokoh, jadi bagian menentukan dalam menebar kebaikan dan keteladanan, meskipun tak seluruhnya begitu. Gufran A. Ibrahim, budayawan juga Purek I Universitas Khairun Ternate, meretas pandangan yang jujur “Tokoh bukan hanya mereka yang di atas (berstatus elit-red), tetapi juga mereka di kalangan bawah,” (orang kebanyakan-red). Ia mengajukan contoh — seorang nenek pedagang buah — waktu seorang calon pembeli bertanya “Apa buah yang ibu jual benar rasanya manis? Apa jawab sang nenek? “Oh, kalau mau yang manis, sama bibi yang di sebelah, punya saya kurang terlalu manis”. Tak ada pamrih atau ingin menonjolkan diri, ketika si nenek mengatakan itu. Dialog itu mengalir dengan tulus dan jujur apa adanya.
Nenek di atas adalah kisah tentang nasihat masa kanak-kanak kita di dusun-dusun sepi, ketika mata belum tersentuh teknologi TV hitam-putih. Wejangan orang tua di sela makan, atau ketika kita belajar menulis indah di bawah temaram pelita, menjelang tidur; “tong punya ya, tong punya, orang punya ya, dong punya” (ambillah bagian yang menjadi hak kita, berikan bagian yang menjadi hak orang lain). Wejangan yang jauh dari kesan menggurui, tanpa dalil ataupun argumentasi, tetapi mengena, tertanam kuat dalam ingatan hingga dewasa. Kalau toh, kini ada yang melupakannya, itu soal lain.
Banyak kisah teladan dalam Sejarah. Jika era kenabian ideal, setidaknya merujuk para khalifah. Di sana ada Umar bin Khattab yang memikul sekarung gandum tengah malam kepada rakyat, ketika dia tahu mereka sudah beberapa hari belum makan. Abubakar Asshiddiq, mengembalikan seluruh gajinya ke baitulmal setelah pensiun dari jabatannya. Umar bin Abdul Azis, begitu takut “korupsi” hingga tidak mau menggunakan sekadar pelita untuk pembicaraan keluarga. Itulah keteladan yang bersumber dari nilai-nilai transenden yang dipegang teguh. “Bicara keteladan, contohilah Rasulullah SAW, dan para sahabat, khususnya khulafaul rasyidin.” Seru Ustad Zainal, sapaan akrab warga Tidore kepada mantan hakim pengadilan Agama ini.
Juga ada kisah lain tentang Gandhi yang sabar dan penyayang. Bunda Theressa yang rela hidup bersama kaum miskin di Calcutta. Jeferson yang takut melukai hati rakyat, hingga dalam pidato purna bhakti-nya sebagai Presiden Amerika, ia tanyakan kepada rakyatnya (bahkan dunia) pernahkah ia menyusahkan atau mengambil hak rakyat? Bangsa kita punya record tersendiri soal tokoh-tokoh teladan. Hatta yang jenius tapi tidak ambisius, ketika visinya tak diapresiasi dengan baik, ia mengundurkan diri sebagai Wapres. M. Natsir yang cerdas tapi sederhana, Perdana Menteri RI yang rumahnya digang sempit dan berbecek ketika hujan. Ia kemana-mana lebih senang naik becak ketimbang mobil.
Melihat fakta paradoksal yang ada, sebagian rakyat tentu pesimis. Karena di satu sisi, seribu satu persoalan yang dihadapi rakyat, menuntut perhatian dan keseriusan elit memecahkannya. Di lain sisi, elit penguasa justeru sibuk mengkalkulasi kepentingannya mereka. Kepentingan rakyat baru disentuh Kalau di dalamnya bisa dititip kepentingan mereka. Ada yang asimetris antar pemimpin informal dengan pemimpin formal. “Pemimpin informal dipilih karena punya kelebihan-kelebihan tertentu, antara lain kepemimpinan, keelokannya, keteladanan dan sebagainya. Sementara pemimpin formil dipilih dengan pertimbangan syarat-syarat teknis misalnya tingkat pendidikan tidak terlalu peduli dengan aspek keteladanan”. Terang pak Amal.
Padahal para teologis dan moralis berpandangan kekuasaan yang didapati seseorang adalah amanah Tuhan melalui kepercayaan rakyat yang mesti ditunaikan sebaiknya. Jika tidak penguasa itu dicap mangkir dan khianat. Karenanya practices abiality kekuasaan merupakan wujud excelences sang pemimpin. Ia merupakan sesuatu yang agung. Suatu tanggung jawab yang terekspresi dari esensi nilai-nilai azali dan boleh dimaknai sebagai konteks moral. Kekuasaan dalam konstruk ini adalah ibadah dan orientasi pada kepentingan umum, mewujudkan kesejahteraan, keadilan, dengan cara-cara yang santun, egaliter dan fairness.
Disini problemnya. Sebagai bangsa yang mengklaim diri relijius, idealnya, konsepsi di atas mewarnai penyelenggaraan Negara. Namun jauh panggang dari api. Aset-aset sosial yang relijius-kultural, mengalami menggerusan yang hebat. Tersisa kini wajah kekuasaan dan penguasa (nasional maupun lokal), tak lebih dari mereka yang sering distigma lemah integritas dan identitasnya. “Mereka lebih mengutamakan kepentingan dunia dan melupakan akhirat. Kalau kekuasaan diyakini sebagai amanah, mustahil orang berani berkhianat” cecar Zainal Abidin, mantan Ketua Pengadilan Tinggi Agama Papua dan Maluku ini.
Keteladan sesungguhnya sesuatu yang sederhana — tentang bagaimana orang-orang “besar” melakukan hal-hal “sederhana” dan bagaimana orang-orang “kecil” melakukan hal-hal yang “luar biasa”. Lihatlah, bagaimana seorang pemimpin “besar” sekelas Bin Khattab memikul sekarung gandum dan menyambangi ummat yang lapar tengah malam, As Shiddiq yang ikhlas mendermakan seluruh gajinya ke baitulmal untuk kepentingan umum, Gubernur Abdul Aziz yang risih menggunakan lampu minyak untuk urusan keluarga, karena itu fasilitas Negara, minyaknya disubsidi dari jerih payah dan keringat rakyat. Seorang Hatta yang rela berhenti dari jabatan Wakil Presiden menghindari “benturan” gagasan dan konsep pembangunan juga Seorang Perdana Menteri, M. Natsir enjoy kemana-mana pakai sarung, sandal dan kendaraan favoritnya hanya becak.
Tentang orang-orang “kecil” yang luar biasa. Ingatlah kisah nenek penjual buah yang merawat kejujuran, dan tak takut kehilangan pembeli. Para orang tua di pedesaan yang kerjanya serabutan petani, nelayan tradisional, tukang batu, dan sebagainya—tetapi mampu sekolahkan anak hingga perguruan tinggi. Dalam keterbatasan, ada ethos dan energi moral yang terpelihara — rasa tanggung jawab yang tinggi. Mendorong hidup menjadi lebih baik. Itulah kearifan dan peneladanan. Dari latar macam itu, telah mengantarkan berlapis generasi yang kini bertaburan di etalase sosial, politik, ekonomi, Maluku Utara.
Bagaimana menjelaskan, elit penguasa yang lahir dari latar sosial penuh nilai kearifan: relijius-kultural semacam itu, mudah kehilangan orientasi nilai-nilai moral? “Ada semacam missing link, sehingga mereka mudah tergelincir dari nilai-nilai yang sebelumnya menjadi pegangan hidupnya” tukas pak Gufran.
“Karena pemimpin-pemimpin sekarang sudah tidak jujur. Sekarang orang pintar banyak, tetapi kejujurannya tidak ada”. Negara kita hancur. Ungkap Ali Albaar kesal. (sofyan daud).

Berguru Teladan pada Dua Ali

H. Zainal Abidin Ali dan H. Ali Albaar adalah dua contoh keteladanan. Satunya mantan pejabat birokrat, satunya lagi mantan akademisi-politisi. Keduanya pernah berada dalam kekuasaan, dan menjalankan amanah itu dengan sikap lurus.

Tak banyak yang tahu, Rumah sederhana di antara deretan rumah dinas salah satu instansi di simpang jalan A. Malawat dan jalan Kemakmuran Kota Tidore, pemiliknya adalah seorang mantan pejabat. Jauh dari kesan bahwa si empunya rumah adalah mantan pejabat selevel Kanwil. Rumah semi permanennya berlantai biasa tanpa keramik dengan meubeler amat sederhana, bahkan terbilang tua.
Di ruang tamu, sebuah meja kerja buatan tukang meubel lokal. Di sebelahnya kokoh lemari besar buatan tahun 1980-an. Di situ tersusun rapi ribuan buku. Dalam pandangan Zainal Abidin Ali, “Kekuasaan adalah amanah Allah SWT,” begitu komentarnya kepada Genta beberapa pekan lalu.
Ia juga menyentil pejabat, untuk selalu memegang nilai-nilai moral dan keteladanan. “Bagi yang muslim Rasulullah adalah teladan, karena kejujurannya. Kalau kekuasaan dilihat sebagai amanah tidak mungkin dikhianati. Jadi, harus sesuai antara niat, bicara dan perbuatannya,”ungkapnya.
Menurutnya, jika semua diniatkan untuk ibadah kepada Allah, maka dia tidak akan mungkin mengkhianati apa yang diamanatkan. “Apapun dan bagaimanapun situasinya, ada dua hal yang perlu dipertimbangkan. Yaitu dosa dan amal sholeh. Kedunya merupakan neraca pertimbangan bagi seorang yang memegang kekuasaan. Jadi, jangan dahulukan hak dan kepentingan pribadi, tapi utamakan kepentingan umum,” Zainal mengingatkan.
Di mata Zainal, kepemimpinan Rasulullah dan Khulafaul Rasyidin adalah rujukan keteladanan. “Mereka tegas menegakkan yang hak dan menentang yang bathil, jadi tempuhlah cara yang halal dan terpuji dalam menjalankan kekuasaan,” paparnya.
Kalau itu dilakukan, kata Zainal, kapanpun dan di manapun pasti diridhoi Allah, disanjung para pengikutnya, dan mendapat simpati rakyat,
Untuk membangun keteladan pemimpin dan penguasa yang amanah menurut mantan Ketua pengadilan tinggi agama Papua dan Maluku ini, penguasa muslim harus menjalankan kekuasaan sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasulullah.
Soal banyaknya penilaian kebijakan penguasa saat ini menguntungkan kelompok, kerabat atau sejawat, menurut Zainal Abidin, menyalahi janji dan sumpah jabatan. Dan menurutnya, sikap itu bertentangan dengan ajaran Islam.
Zainal merupakan sosok langka untuk ukuran mantan pejabat yang lain saat ini. Selama menjadi pejabat Zainal Abidin jauh dari perilaku “korup” Ia punya resep, Baca Al Qur’an dan Hadits serta meneladani Rasulullah dan Khulafaul Rasyidin. “Karena memandang jabatan itu adalah amanah, janganlah saya termasuk orang yang khianat dalam menjalankan itu,” lirihnya.
***
Jika Zainal Abidin Ali contoh keteladanan seorang birokrat, tak beda jauh dengan rekan se zamannya H. Ali Albaar, adalah contoh keteladanan seorang politisi. Tak banyak orang tahu Ali Albaar, adalah mantan politisi salah satu Partai Islam yang sangat vokal dan idealis semasa mudanya. Ketika menjadi salah satu anggota legislatif (DPR-GR), Ustazd Ali berani mengambil sikap bertentangan dengan kehendak penguasa dalam pemilihan Bupati Maluku Utara Waktu itu. “Waktu itu, semua anggota DPRD Kab. Maluku Utara hanya pendengar setia. “Yes man” saja. Pimpinannya bilang apa semuanya setuju. Salah atau benar tetap diterima. Itu kejadian 1968 kalau tidak salah. Ada pemilahan Bupati KDH Kab. Maluku Utara. Bagi saya, sebenarnya Prof. Yasin Muhammad yang menang, karena banyak mendapat dukungan DPRD. Tapi karena pemerintah dengan campur tangan militernya kuat, meminta dukungan dialihkan kepada (Alm) Yakub Mansyur. Waktu itu Ketua DPRD-GR (Alm) Samad Latif, bilang “suara kita semuanya dialihkan kepada Yakub Mansyur” Saya bilang tidak! Suara saya yang sudah ke orang lain tidak mungkin ditarik kembali. Itu sama saja dengan menjilat ludah!” Kisahnya dengan mata nyalang dan berapi-api.
Masih ada lagi cerita keteladanan beliau yang lain. Menolak disahkannya perda judi loto. “Saya mau semua ambil sikap tegas dan tolak judi Loto. Tapi banyak teman-teman setengah hati dan ragu-ragu. Saya kemudian mengundurkan diri dan mengembalikan semua fasilitas dewan berupa sepeda kumbang. Ketika gaji saya diantar. Saya tolak dan mengembalikan, karena sudah tidak berhak lagi,”kenangnya.
Ia juga mengecam pemimpin sekarang yang menurutnya tak jujur sehingga rakyat tak bisa sejahtera. “Negeri ini subur, potensinya banyak tapi kenapa tidak maju, rakyat tidak bisa sejahtera? Karena pemimpin-pemimpin sekarang sudah tidak jujur. Banyak yang pintar, tetapi tidak ada yang jujur. Negara ini bisa hancur.” Suaranya terdengar lantang.
Masyarakat tentu berharap keteladanan dua Ali ini bisa memunculkan banyak Ali-Ali lain yang memiliki keteladanan moral dan menjaga amanah ketika berada dalam kekuasaan.(Syar oesman, mansyur djamal)




Kolom & Opini

Kekuasaan
Darsis Humah

Dalam suatu perjalanan, Kong Hu Cu bersama murid-muridnya, bertemu dengan seorang perempuan tua yang sedang menangis di dekat sebuah batu. Sang Guru menyuruh seorang muridnya bertanya kepada perempuan itu, gerangan apa yang sedang dideritanya sehingga membuat wajahnya sayu , tatapannya kosong seakan tidak ada masa depan. Si Murid pengikut Kong Hu Cu itupun segera melaksanakan perintah Sang Guru. Ia memulai pertanyaan penuh selidik kepada Ibu tua, “gerangan apa yang membuat Ibu menangis?”. Ibu itu menjawab dengan penuh lara, “Anak saya baru saja meninggal, mati di tempat ini karena diterkam harimau”. Kemudian dengan terbata si Ibu itu melanjutkan, “Beberapa waktu yang lalu suami saya juga dibunuh oleh harimau di tempat yang sama”.
Murid sang pengikut Kong Hu Cu itu kemundian menukas dengan cepat, “mengapa Ibu tidak meninggalkan saja tempat ini karena banyak harimau ganas di sini?” Jawabnya. “Saya tidak pindah karena di sini tidak ada pemerintah yang menindas”. Mendengar jawaban itu, Kong Hu Cu berkata, “Wahai murid-muridku, ingatlah bahwa kekuasaan yang menindas lebih berbahaya daripada harimau”.
Kiranya kita perlu mengulangi kembali nasehat dan kata-kata bijak dari sang Filsuf Cina itu, “Kekuasaan yang menindas lebih berbahaya daripada harimau (sang Binatang Buas)”. Mengapa nasehat itu kita kutipkan ulang? Realitas dalam masyarakat kita saat ini membutuhkan wejangan-wejangan kearifan seperti itu. Utamanya, mengingatkan kepada mereka yang berkuasa atau yang memiliki kekuasaan untuk tidak menindas kawula dalam perlindungan mereka. Kata Lord Acton, “Kekuasaan cenderung disalahgunakan, kekuasaan yang absolut adalah penyalahgunaan yang absolut.” Contoh-contoh kekuasaan yang menindas saat ini begitu kasat mata disalahgunakan sehingga berakibat rakyat yang semestinya dilindungi justru ditindas oleh mereka yang berkuasa dan memiliki kekuasaan.
Kita juga ingin mengingatkan kepada para penguasa yang memiliki kekuasaan di situ untuk juga dengan penuh kerendahan hati merenungkan nasehat Kong Hu Cu dan Lord Acton seperti yang dipaparkan pada iftitah tulisan ini.
Kekuasaan memang dapat dipakai untuk memajukan dan memakmurkan masyarakat. Suatu contoh kebijakan penguasa dan mereka yang berkuasa yang digunakan untuk tujuan-tujuan mulia. Tapi kita juga masih berharap lagi, para penguasa dan mereka yang berkuasa untuk mendedikasikan kekuasaan yang mereka miliki untuk tujuan-tujuan kemanusiaan.



Demokrasi Pilkada dan Kemiskinan

Suara rakyat semahal harga rokok sebungkus. (Investigasi Tempo: Dari Skandal ke Skandal).

Pembangunan senantiasa mengingatkan kita akan gagasan tentang kemajuan, kesejahteraan, dan kekayaan. Pembangunan juga, dengan ideologi apapun, mengharuskan agar menyentuh aspek keadilan sosial, kemiskinan, keterbelakangan di bidang pendidikan dan kesehatan. Dengan sendirinya, pembangunan adalah proses ke arah yang lebih baik.
Menilik teori itu, Maluku Utara yang sebentar lagi menyelenggarakan Pemilihan Gubernur, atau lebih dikenal dengan singkatan Pilkada Gubernur, dengan kondisi ekonomi yang masih butuh perbaikan, proses pemilihan gubernur ini menjadi satu harapan ke arah perubahan yang lebih baik.
Kenapa harapan ini terbebankan ke Pilkada kali ini? Karena, demokrasi politik, menurut Anders Uhlin dalam Oposisi Berserak (1998), adalah prasyarat bagi demokrasi ekonomi. Jadi logika Uhlin adalah, jika demokrasi politik gagal, maka otomatis perubahan ekonomi, sosial, dan kultural yang selama ini menjadi harapan tiap orang, ikut gagal.
Semua yang berhubungan dengan perubahan sosial, untuk saat ini, terbebankan ke proses pemilihan gubernur, karena asumsinya, setelah sejumlah agenda pembangunan yang belum tuntas terlaksana, harus ada perubahan arah kebijakan daerah yang lebih menyentuh aspek kesejahteraan rakyat.
Negara barat dengan gagasan kolonialisme terselubung lewat IMF beberapa waktu lalu %sesuatu yang mirip VOC di awal penjajahan Belanda di Indonesia% sangat mereduksi semangat bertahan dan daya saing Indonesia di pasar global. Indonesia, akhirnya tak lebih menjadi Negara jajahan dari kolonial bernama International Monetery Fund. Dampaknya masih bisa dirasakan saat ini. Jika kita tak sengera keluar dari lilitan ekonomi ini, sungguh sulit bagi penerapan strategi apapun, termasuk otonomi yang disebut-sebut sebagai alternatif penyelesaian masalah nasional sekarang ini.
Rita Abrahamsen dalam “Disciplining Democracy (2000)” menyebutkan, doktrin baru pembangunan mengidentifikasi “poor governance” sebagai penyebab utama ketertinggalan pembangunan%dia mengambil sampel Afrika, dan tentu saja cara mengatasinya adalah “good governance,” atau “demokrasi. Abrahamsen begitu optimis, penyelesaian masalah dunia ketiga yang pemerintahannya dikategorikan korup, adalah dengan jalan demokrasi.
Sekarang, dalam konteks daerah ini, setelah pemerintah pusat memberikan kewenangan lebih lewat otonomisasi daerah, dan rakyat langsung memilih pemimpinnya, yang disebut-sebut memiliki legitimasi kuat dalam meraih kepercayaan publik, hendaknya menjadi dasar bagi terselenggaranya pemerintahan yang lebih bersih, adil, berwibawa, dan memihak kepada rakyat kecil. Tuntutan perubahan hendaklah dilihat dalam konteks yang lebih jernih. Jangan sampai, demokrasi kemudian tak lebih dari upaya elit politik untuk meredam tuntutan massa akan perubahan.
Sejumlah hal yang masih harus dijawab pemerintah saat ini dan yang akan terpilih nanti adalah, problem pengungsi yang belum selesai, pendidikan yang belum menyentuh seluruh lapisan masyarakat, kesempatan kerja dan lapangan kerja yang belum memadai, akses ke pusat-pusat ekonomi yang masih belum terbuka luas, dan keadilan dalam memperoleh lapangan kerja bagi semua rakyat. Target utama nantinya juga adalah mendorong penegakkan hukum bagi semua orang dengan menjunjung supremasi hukum.
Seperti idiom hukum yang terkenal, fiat justitia et pereat mundus. Hukum harus ditegakkan, meski langit runtuh. Filosofi yang selama hidup, selalu dijunjung mantan Jaksa Agung RI, Almarhum Baharudin Lopa.
Mencermati kondisi penegakkan hukum yang belum maksimal, ke depan, siapapun yang terpilih, harus punya nyali untuk mendatangkan orang yang meski belum sekaliber Lopa, minimal punya keberanian untuk bekerja sesuai aturan hukum positif di Indonesia. Dukungan terhadap penyelenggaraan hukum yang bersih dan bebas intervensi kekuasaan maupun uang, mutlak dilakukan di Maluku Utara.
Kita berharap pada perubahan, jika itu bukan sebuah hal yang utopis. Jika tidak, mari, tanyakan kepada para kandidat itu, pertanyaan dari Michel Foucault dalam Madness and Civilization, “Venez-vous m’enlever danz l’eternelle nuit?” (Apakah kamu datang untuk melemparkan aku ke dalam malam abadi?)
Sebuah pertanyaan filosofis yang tak mudah dijawab. Karena sebagimana dijelaskan Foucault, kebodohan%sesuatu yang berhubungan dengan tingkat dan mutu pendidikan% adalah sesuatu yang begitu dekat dengan manusia.
Justru, akar pertanyaan itu yang menjadi penyebab, demokrasi di Indonesia senantiasa tak jauh dari praktek kotor politik uang. Praktek yang sudah berakar lama di masyarakat, selain karena intimidasi, terlebih lagi karena memang secara ekonomi rakyat kita masih miskin.
Nah, kemiskinan secara umum merupakan akar dari penyebab chaos-nya sebuah daerah. Karena ketimpangan social yang terlalu mencolok juga berdampak pada kecemburuan social dan jika tidak dikelola secara baik, tentu berdampak serius bagi kestabilan daerah, bahkan nasional.
Kepercayaan yang coba dibangun sebagai bagian dari kampanye saat ini adalah, ada kandidat tertentu yang masuk kategori orang kuat. Indikatornya dari kemampuan financial yang mendukung kampanyenya. Karena diyakini benar bahwa sukses tidaknya seseorang dalam pertarungan kepala daerah, yang utama adalah kemampuan dana untuk membiayai aktifitas kampanye, entah dengan cara apapun.
Pada sisi lain, ada sejumlah calon yang datang menawarkan perubahan. Tapi seperti apa perubahannya, belum ada yang secara tegas memaparkan ke publik, dalam upaya sosialisasi diri. Jangan heran jika kemudian muncul kelompok “perlawanan” yang memperkenalkan diri sebagai Golput. Mereka memilih untuk tak menggunakan hak politiknya dalam pemilu, adalah bagian dari strategi protes itu.
Karena pasca konflik, rakyat kecil di Maluku Utara saat ini masih terpuruk dari segi ekonomi. Mereka masih miskin secara ekonomi. Masalah ini sangat serius karena akar-akar konflik di Maluku Utara belum tuntas terpecahkan. Kesenjangan ekonomi, sosial budaya, masalah administratif antar kabupaten seperti tapal batas, perbenturan kepentingan elit seperti dalam Pilkada ini, masalah hukum yang tidak tuntas, dapat saja saling menunggangi, dan dapat berdampak pada munculnya konflik komunal baru.
Dalam konteks ini, dibutuhkan seorang pemimpin yang punya visi yang jelas, dalam membangun Maluku Utara lima tahun ke depan. Seorang pemimpin tidak selalu harus diterima seluruh kalangan. Tapi minimal 50 persen dia harus mendapat dukungan rakyatnya. Maksudnya, agar legitimasi pemerintahannya diakui publik, dan dapat bertahan di tengah badai protes, jika nanti muncul ketakpuasan. Lebih legitimate lagi jika perolehan suaranya melampaui angka 75 persen dari total perolehan suara seluruh daerah.
Bagi rakyat, yang penting dilakukan saat ini adalah, bagaimana mengawal proses demokrasi ini agar berjalan lancar, jujur dan adil, lepas dari bias politik uang. Lalu apakah agenda para kandidat ini telah mampu menyelesaikan seluruh akar permasalahan di Maluku Utara pasca konflik, tidak semata perbaikan ekonomi, tapi juga menuntaskan sejumlah masalah pengungsi, penyelesaian tapal batas yang jadi bom waktu bagi kedamaian daerah, keadilan dalam pelayanan pendidikan, dan perbaikan aparatur pemerintah sebagai pelayan publik.
Sekarang rakyatlah yang menentukan dalam transaksi Pilkada ini. Karena mereka adalah target. Di tangan rakyat pemilihlah, hitam putih negeri ditentukan.
Setelah usai pemilihan nanti, masih ada yang mesti dilakukan. Harus ada kontrol terhadap pemerintahan secara kontinyu, karena pemerintah yang tidak dikontrol cenderung sewenang-wenang terhadap kekuasaan yang dimilikinya. Kontrol tidak mesti dari lembaga formal macam DPRD saja, tapi juga lewat suara-suara kritis. Sebuah pemerintahan yang baik adalah yang tidak alergi terhadap kritik, dan senantiasa mengoreksi diri. Jika tidak dikontrol, sebaik apapun pemerintahan, akhirnya akan menjadi seperti istilah negarawan Inggris, Lord Acton, power tends corrupt, and the corruption absolutely corrupt. Jika begini, bagaimana berharap pada perubahan? n

Liputan Khusus

Pendidikan Maluku Utara, Antara Angka dan Fakta

Pendidikan adalah proses pembebasan diri dari kebodohan dan kunci menuju perubahan. Di Maluku Utara pendidikan justru dikelola asal jadi.

Sekolah yang awalnya enam lokal itu, kini tinggal tiga kelas yang bisa dipakai. Itupun kalau hujan siswanya harus istirahat belajar. Harap maklum, atapnya sudah 80 persen bocor. SD di Desa Toliwang, nun di pedalaman Kao, Halmahera Utara ini sudah dibantu dengan dana Inpres sekitar 30 tahun lalu. Sejak saat itu kondisi bangunan ini nyaris tak tersentuh bantuan. Dinding bangunan yang hanya dari Asbes, kini sebagian besar sudah keropos.
Kisah di atas baru awal cerita tentang kondisi fisik bangunan sekolah di Maluku Utara. Sampai awal tahun 2005 di kota Tidore Kepulauan, masih ada sekolah dengan kondisi mirip kandang ayam, dindingnya dari papan dan lantainya tanah. Baru pada TA 2005-2006 lalu, dibangun unit sekolah baru oleh Pemda Tikep. Lokasi sekolah itu hanya di pesisir Oba yang dapat dijangkau dalam waktu 1 atau 2 jam transportasi laut dari Tidore atau Ternate. Tentu diwilayah terisolir, kisahnya pasti lebih suram lagi.
Keluhan soal terbatasnya sarana gedung, tak hanya datang dari pelosok terpencil. SD Mononutu yang terletak di jantung kota Ternate—ibukota provinsi sekarang—dalam lokasi yang sama sekaligus terdapat 4 Sekolah Dasar: SD Mononutu 1 dan 2 serta SD Kenari Tinggi 2 dan 4. “Kita ini sekolah di dalam kota, namun masih pararel, double shitf. Ini yang saya pikir bahwa kita berteriak mau maju namun sekolah masih tetap double shitf, ya sulit,” Keluh sang Kepala Sekolah.
Ini adalah ironi pembangunan pendidikan Indonesia. Padahal, seperti kata Ade Tais A.Ma. Kepala Sekolah SD Mononutu 1 Ternate, lembaga pendidikan memproduk generasi masa depan. “Saya pernah minta kepada pemerintah, kalau boleh sekolah ini ditambah ruang belajarnya, karena memang muridnya cukup padat, minatnya cukup banyak, tetapi terbatasnya masalah gedung, fisiknya. Padahal, bangun gedung mewah yang hebat-hebat saja bisa,” ujarnya getir.
Ade patut prihatin. Karena Negara ini memiliki konstitusi yang mengharusnya prioritas pembangunan pendidikan. Negara memprioitaskan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN serta APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidi-kan nasional. Itu pesan pasal 31 ayat 4 UUD ’45.
Lalu apakah ini semua karena target 20 persen anggaran pembangunan diarahkan ke pendidikan tidak tercapai? Alumnus D2 STAIN Ternate ini sepakat jika anggaran pendidikan dinaikkan, banyak problem pendidikan seperti sarana penunjang pendidikan, dan kesejahteraan guru, dapat terpecahkan.
Di Maluku Utara, soal dana sepertinya tak jadi soal. Karena, anggaran yang masuk tahun 2007 ini jumlahnya lumayan: trilyunan rupiah. Tapi berapa yang kemudian dialokasikan ke sektor pendidikan? Said Hasan MPd, Kadis Pendidikan dan Pengajaran Provinsi Maluku Utara mengaku, alokasinya sebesar Rp. 11 milyar. Masih jauh dari ideal.
Ini masih jadi masalah. Jangankan SD Toliwang di pedalaman Halmahera yang hampir roboh dimakan waktu. Di Ternate yang ibukota provinsi saja, satu bangunan dipakai hingga empat sekolah. Padahal idealnya, ujar Bapak enam anak ini, satu gedung sekolah hanya boleh dipakai satu sekolah. Tidak boleh dipakai lebih dari satu sekolah, atau dalam bahasa Ade Tais, tidak boleh double shift.
Langkah dan upaya pemerintah guna perbaikan sektor pendidikan bukan tak ada. Kebijakan Pemprov Maluku Utara sebagaimana dituangkan dalam Pola Dasar Pembangunan 2002-2007 (RPJMD-red), mencanangkan antara lain %Memperluas daya tampung SD, sekolah menengah dan pendidikan prasekolah yang lebih terjangkau dan berkualitas. Pembangunan sarana prasarana yang merata di seluruh Kabupaten/Kota. Peningkatan kualitas pendidikan, pemberian beasiswa bagi siswa berprestasi dan keluarga kurang mampu. Peningkatan kualitas, profesionalitas, kesejahteraan, citra, wibawa, harkat dan martabat guru. Kurikulum berbasis muatan lokal, membina manajemen pendidikan, pengawasan dan akuntabilitas.
Arah kebijakan ini dimaksudkan untuk menjawab kondisi obyektif pendidikan Maluku Utara tahun 2002 silam, dengan jumlah SD 1.141, jumlah siswa 147.841dan jumlah guru 5.140. SLTP 189 unit, siswanya 46.208 dengan jumlah guru 3.499, dan SMU/SMK 71 unit, 24.771 siswa serta 1.152 guru. Disamping juga penyebaran tenaga pengajar pendidikan dasar yang belum merata pada wilayah kecamatan dan desa, melainkan terpusat pada ibukota kabupaten, daya tampung SMU/SMK dan sederajat terhadap lulusan SLTP, serta permasalahan kuantitas dan kualitas pendidikan secara umum. Kenapa daftar panjang ini perlu diangkat? Karena kini, kita tengah berada di tahun 2007, mendekati garis finish dari program yang dicanangkan 5 tahun lalu. Seberapa besar capaian dari program yang telah dicanangkan?
Hasan punya argmentasi sehubungan dengan rencana kerjanya. “Sekarang itu masih perluasan akses di samping kita ikuti dengan peningkatan mutu. Mengapa perluasan akses, karena infrastruktur kita belum memenuhi standar ideal,” jelasnya. Perlu perhatian serius adalah angka yang ada dalam pendahuluan RKPD Pemprov. Maluku Utara 2006 berubah signifikan. Jumlah Sekolah mengalami pertambahan, tetapi terjadi penyusutan jumlah guru. SD 1.179 unit, SLTP/MTs. 253 unit, SMU/MA 215 unit, PT 8 unit. Sementara jumlah guru SD yang dibutuhkan 10.169 yang tersedia 669 orang, SLTP/MTs membutuhkan 1.319 orang guru dan yang tersedia baru 729 orang, tingkat SMK membutuhkan 568 orang yang tersedia baru 148 orang.
Itu perencanaan dari Pemprov untuk menjawab masalah pendidikan Maluku Utara, dengan mengacu pada data yang ada. Tapi mari kita lihat statistik BPS. Maluku Utara dalam Angka 2005-2006 mencatat, pada tahun 2005 jumlah SD se provinsi sebanyak 1.148 sekolah. Guru yang melayani sebanyak 7.364 orang. Jumlah itu tersebar di berbagai pelosok, dan mendidik murid-murid SD yang 212,323 jiwa. Jika dibagi secara merata, setiap sekolah kebagian 6 guru.
Kenapa datanya harus berbeda, dan selisih angkanya begitu besar? Kalau menggunakan data RKPD Pemprov, jumlah SD tidak sebanding dengan jumlah guru. Karena SD sebanyak 1.179 unit harus dilayani hanya dengan 669 guru. Logikanya, jika seorang guru tidak mengajar dua sekolah maka ada 510 unit sekolah yang kosong tanpa guru. Dengan sendirinya, pembangunan sekolah baru belum layak dilaksanakan saat ini. Namun, hingga saat ini belum ada laporan, sekolah dalam jumlah besar yang tak ada gurunya. Bahkan SD Toliwang yang begitu memprihatinkan, ternyata masih ada gurunya.
Ajaibnya, ada sekolah di dalam kota yang gurunya berlebih, tapi ada juga sekolah di pelosok yang hanya diasuh satu orang guru. Lalu data mana yang harus dipakai? Apakah database pendidikan yang begini kacau yang layak untuk dijadikan referensi dalam menyusun RKPD provinsi? Pertanyaan ini patut diajukan, karena data BPS tahun 2006 melaporkan, dari 907.130 penduduk Maluku Utara, masih ada 44 ribu yang buta huruf. Yang tak memiliki ijazah sama sekali jumlahnya 29,10 persen dari total jumlah penduduk Maluku Utara.
Dengan manajemen yang begitu sengkarut, kapan kita bebas buta huruf? Harap maklum, dengan manajemen seperti ini, seperti dikeluhkan Ade Tais, sulit untuk meningkatkan mutu pendidikan. Jika perencanaan pendidikan seluruhnya tetap sekacau ini, jangan harap generasi penerus Maluku Utara menerima pendidikan yang layak. Lalu dari mana harus membenahinya?
Said Hasan punya jawaban, masalah data base yang utama saat ini karena Dinas-Dinas di tingkat Kabupaten Kota tidak memasukkan laporan data mereka ke dinas provinsi. Ini problemnya. Untuk pemecahannya, pihaknya sudah merencanakan rembuk pendidikan se provinsi Maluku Utara. Maksud dari acara ini adalah untuk menyamakan data pendidikan se provinsi. Jika tidak dilakukan, sulit mendapat angka yang pasti dalam data base pendidikan di Maluku Utara.
Selain itu, tenaga pendidik yang beralih ke birokrasi menjadi tenaga struktral, baik di dalam maupun di luar instansi pendidikan sementara mereka asih terdaftar sebagai tenaga pendidik, juga salah satu yang diakuinya turut mengacaukan data jumlah pendidik. “Alih fungsi jabatan struktural itu sah-sah saja. Tapi yang dikuatirkan adalah pengalihan fungsi itu tidak berdasarkan analisis yang matang. Di bidang strategis, tidak harus menggunakan orang yang bukan ahli pendidikan. Pada saat di perhadapkan dengan program, misalnya UNDP, kan tidak nyambung karena bukan ahlinya,” ujarnya lagi. Rumitnya lagi, lanjutnya, budaya masyarakat Maluku Utara ternyata belum taat azas.
Gufran A. Ibrahim, Pembantu Rektor III Universitas Khairun Ternate punya jawaban penting soal kendala utama dunia pendidikan Maluku Utara. Masalah mendasar pendidikan di Maluku Utara adalah bagaimana menyiapkan blue print-nya. “Blue Print itu merupakan kerangka dasar perencanaan pendidikan Maluku Utara. Nah, blue print itu juga tidak jatuh dari langit tapi disiapkan melalui suatu survey pemetaan masalah-masalah pendidikan Maluku Utara. Dari hasil survey itulah kemudian dibuatkan blue print-nya atau dalam bahasa lain, adalah kerangka dasar sebuah perencanaan dan pengembangan pendidikan di Maluku Utara,” ujarnya.
Pemprov punya Rencana RPJMD (rencana 5 tahunan-red), kemudian di derivasikan kedalam RKPD (rencana tahunan-red), melalui Renja dan Rentara SKPD masing-masing instansi. Menurutnya, ini juga dibaca sebagai blue print, tetapi ada satu soal yang diakui oleh hampir seluruh instansi — data base mengenai masalah terkait dengan masing-masing instansi, juga diragukan kesahihannya. “Di kalangan pendidikan pun demikian, jangankan orang luar, dari dalam sendiri juga tidak begitu haqqul yakin mengenai kesahihan data itu, “ jelasnya.
Makanya ia menganjurkan sebuah survey secara komprehensif. “Mengapa survey perlu dilakukan, karena memang data base mengenai masalah-masalah pendidikan itu juga tidak valid menurut pengakuan mereka, tegasnya.
Jadi, itu kata kuncinya, harus mulai dari survey pemetaan masalah-masalah pendidikan lalu lahirkan blue print, dan itu dapat dibaca sebagai Renstra Dinas pendidikan 5, 10 atau 15 tahun kedepan, hingga berganti siapapun kepala dinasnya, itu kerangkanya. “Saya sudah pernah komunikasikan dengan teman-teman, termasuk juga kepala dinasnya (Kadis Dikjar Prov. Maluku Utara-red), waktu dia diminta ke sana (sebagai kadis-red), saya saran kepada untuk melakukan hal-hal yang saya sebutkan tadi, tapi itu kemudian tidak terjadi, karena terjebak dengan persoalan blockrant, itu salah satu penyebabnya. Terjebak dalam pengertian hanya melihat kesitu, padahal harus memulai dengan survay tadi. Saya yakin survey dimaksud akan menjadi mula dari bagaimana merancang Pendidikan Maluku Utara kedepan,” jelasnya.
Mengenai alokasi dana untuk pendidikan di Maluku Utara, diaku Said belum sampai 20 persen sebagaimana amanat konstitusi. Tapi, menurutnya sudah ada perubahan ke arah yang lebih baik. “Tahun 2006 lalu kira-kira 10 persen,” jelasnya.

Problem Gonta Ganti Kurikulum
MASALAH ini ditengarai sebagai problem krusial yang belum tertangani dengan baik. Orde silih berganti dengan kebijakan yang terus diperbaharui tak banyak mengubah pelayanan maupun mutu pendidikan Indonesia. Para menteri sejak Kabinet pembangunan dibawah kendali Soeharto, hingga Kabinet persatuan dibawah komando SBY % yang berubah hanya aspek yang jauh dari esensi. Depdikbud berganti nama menjadi Diknas atau Dikjar.
Dan juga kurikulum serta manajemen pengelolaan pendidikan yang terus berubah seperti CBSA, Link and Match, KBK, hingga yang terkini KBSP, tidak memberi dampak berarti bagi kualitas dan mutu pendidikan kita. Konsep yang dijejali itu sulit diimplementasikan, karena terbatasnya sarana dan prasarana, kompetensi tenaga penyelenggaranya, serta dukungan dana yang terbatas.
Semua itu, menurut Said Hasan, sumbernya pada manajemen yang tidak bagus. “Mutu itu ada jika manajemen bagus. Sama dengan, proses pendidikan adalah pembiasaan. Jadi kalau torang bicara mutu pendidikan maka kita bicara efek ikutan dari sebuah proses pendidikan. Kalau sebuah infrastruktur tidak bagus maka tidak akan mungkin prosesnya bagus, dan kalau prosesnya tidak bagus, maka tentu mutunya tidak akan bagus,” terangnya panjang lebar.
Dinasnya sudah berupaya menjawab masalah itu dengan melakukan perencanaan meliputi penyiapan infrastruktur, Kurikulum berbasis muatan lokal, membina manajemen pendidikan, pengawasan dan akuntabilitas. Tapi dalam bahasa Said, pendidikan adalah tanggung jawab semua pihak. Karenanya, jangan saling menyalahkan. Ia mengajak semua pihak untuk duduk bersama dan memecahkan masalah pendidikan secara serius. (roesly, sofyan).

teras

Kebangkitan

Kebangkitan adalah jawaban dari sebuah proses belajar. Dan nusantara sebelum Indonesia, menempuh proses dialektika itu lebih dari 3 abad untuk sampai pada jawaban – bangkit dalam kesadaran yang satu.
Di tahun 1906 seorang tua bernama Wahidin, sang priyayi dan juga dokter, mengawali kesadaran pentingnya merawat kebudayaan dan memajukan pendidikan. Bersama siswa pada sekolah kedokteran pribumi Stovia, ingin memperjuangkan beasiswa untuk pemuda Indonesia berprestasi. Semangat dan kesadaran itu diwadahi dalam Ikatan yang diberi nama Budi Utomo.
Tapi bukan pemuda namanya kalau tidak progressif. Merasa mubajir dan tak puas kalau Budi Otomo hanya sekadar mengurusi budaya dan beasiswa, patron pemuda lainnya, menempuh “kebangkitan” baru — Budi Otomo harus menjadi pioneer, alat perjuangan pemuda untuk cita-cita kemerdekaan — dia harus menyentuh wilayah politik dan diplomasi. Tercatat nama pemuda semisal Soetomo, Goenawan dan Tjipto (Mangoenkoesoemo bersaudara) serta Soewardi Soerjaningrat kemudian lebih dikenal sebagai Ki. Hajar Dewantoro yang mempelopori pentingnya perluasan ranah garapan Budi Utomo. Dan Si tua Wahidin tak mampu membendung antitesa itu. Dalam kongres ke-2 di tahun 1908. Budi Otomo mengalami perluasan gagasan, mengakomodasi tidak hanya kaum priyayi dan siswa Stovia, tetapi juga kalangan muda terdidik seluruh Jawa, juga bersentuh dengan wilayah perjuangan “politik”.
Dua momentum itu, 1906 dan 1908, kini tercatat sebagai era kebangkitan kaum muda nusantara yang dipelopori priyayi jawa. Tak berlebihan jika dua momentum itu dianggap sebagai “janin” nasionalisme dan rasa kebangsaan kita. Dan kita pun mengingatinya sebagai Hari Kebangkitan dan Hari sPendidikan Nasional. Sejarah Indonesia akhirnya punya catatan sendiri tentang Mei. Selain karena ia merekam peristiwa di atas, Ia juga menjadi semacam tonggak bagi kebangkitan bangsa (nation) yang bernama Indonesia.
Ide tentang pentingnya Pendidikan dan Nasionalisme menjadi sesuatu yang mustahil dipisahkan. Setidaknya terlihat bagaimana sejarah mencatat dua peristiwa di atas: Kebangkitan Nasional juga Pendidikan Nasional. Bukan saja karena keduanya dicetuskan dalam momentum berdekatan. Namun juga dari semangat itu, tumbuh keinginan untuk tidak dibodohi, tidak ditindas mulai bergema di hampir seluruh pelosok negeri. Kesadaran senasib sebagai bangsa terjajah yang sebelumnya tercerai dalam ikatan lokalis-etnistik, mulai berubah ke kesadaran yang satu; sebagai tanah air, sebagai bangsa dan bahasa.
Transformasi gagasan, berikut strategi perjuangan berkembang pesat, terus mengalami kemajuan pasca 1908. Perluasan gagasan Budi Otomo, membuka ruang bagi kaum muda mengecap pendidikan pada strata lebih tinggi, bahkan berkesempatan studi diluar negeri. Era di mana geliat nasionalisme mulai dikomunikasikan secara intens dan terbuka melalui agitasi-propaganda, diplomasi serta korespondensi yang mengagumkan. Dua puluh tahun kemudian digelar Kongres Pemuda I, dengan Ikrar tentang satu Tanah Air, satu Bangsa dan satu Bahasa: Indonesia. Tujuh belas tahun kemudian kata “Indonesia” yang dikrarkan itu, diproklamirkan sebagai sebuah bangsa merdeka. Sebagai sebuah republik yang berdaulat.
Indonesia merdeka adalah Indonesia yang didesain untuk “bangkit” dari ketertindasan dalam berbagai aspeknya. Sebuah kebangkitan yang mengangkat martabat Indonesia sejajar dengan bangsa lain di dunia. Dan martabat bangsa praktis dapat terangkat ketika martabat rakyatnya diperjuangkan dengan sebaik-baiknya. Dan itu merupakan tujuan utama sebuah walverstate. Dalam konteks ini Kesejahteraan dan Keadilan bagi seluruh Rakyat Indonesia menjadi perkara yang belum diseriusi dengan baik. Bahkan hingga kemerdekaan Indonesia telah menempuh usia 62 Tahun.
Akibat ketidak seriusan mengurusi keadilan dan kesejahteraan rakyat itulah, selain tentu saja kebijakan lain berkisar soal politik, ekonomi. Orde Lama di bawah kepemimpinan Bung Karno terjungkal. Lahirlah kemudian Orde Baru yang kokoh dan angkuh selama lebih dari tiga dekade. Pada awal kelahiran Orde Baru dengan nahkoda Soeharto tertitip harapan (barangkali) ia mampu meneruskan cita-cita kebangkitan Indonesia. Namun akhirnya bernasib sama, kehilangan kepercayaan rakyat dan mimpi itupun terkubur bersama tumbangnya Orde Baru.
Dan sekali lagi bulan Mei 1998 mencatat kekisruhan yang luar biasa, dari keinginan rakyat yang disuarakan lewat demonstrasi mahasiswa di seluruh pelosok Indonesia. Mereka mengutuk kekuasaan yang korup. Kekuasaan yang tidak memihak kepada rakyat. Sebuah kekuasaan otoritarian dengan wajah yang “seram”. Di mana bahasa kebenaran hanya berhak didevenisikan oleh penguasa.
Akhirnya sejarah Indonesia meredeka, adalah kisah tentang bangkit dan tumbang. Tentang cerahnya harapan dan suramnya kenyataan. Di dalam setiap keinginan untuk bangkit dan berubah selalu ditempuh lewat jalan yang tak mudah, terjal berliku dan memakan korban harta juga jiwa. Dan kita pun berpikir: Bagaimana merumuskan kebangkitan yang sesungguhnya bagi Indonesia kita?
Jawabannya (mungkin). Belajarlah dari kesalahan, dari sejarah. M. Sofyan Daud