Selasa, 05 Agustus 2008

Menimbang Maluku Utara



Tahun 2007 – 2008 bagi Maluku Utara adalah “tahun politik”. Politik adalah “panglima”. Politik adalah alat untuk meraih tujuan kekuasaan dengan “pelbagai cara”.
Bahkan Politik untuk semata-mata tujuan kekuasaan – mampu dikesankan oleh sebagian elit Maluku Utara – sebagai sesuatu yang perlu diperjuangkan, berapa pun ongkosnya, termasuk “biaya sosial” yang begitu mahal.
Dan satu pelajaran “berharga” tentang cara-cara berpolitik “ala” Maluku Utara yang menonjol ialah, esensi berpolitik untuk tujuan kekuasan hanya punya dua sisi – kalah atau menang – dan kebanyakan memilih yang kedua, walaupun harus menafikkan the rule of the game, maupun kepantasan dan kepatutan yang menjadi prasyaratnya.
Mungkin yang terpapar sekadar “politik gontok-gontokan” antara para pihak berkepentingan, yang sering berekses kekerasan fisik dan psikis. Mungkin pula yang tersaksikan hanya “lobi-lobi, intrik politik, aksi massa, dan cara-cara serupa lainnya”, tapi jauh di baliknya ada soal-soal mendasar yang mesti dilihat sebagai masalah krusial.
Pasalnya, bila perilaku individu dalam interaksi sosialnya – dengan pendekatan sosiologi-antropologi – adalah gambaran tentang realitas nilai dan pola pikir komunitasnya, atau bagian dari ekspresi nilai yang menjadi ciri dan unsur kebudayaan komunitas dimaksud, maka yang tersaksikan di hari-hari ini, bahkan satu dekade terakhir, terutama menyangkut urusan tata kelola pemerintahan, aktivitas pepolitikan, penegakan hukum, dan aktivitas “cari makan” sehari-hari di Maluku Utara, secara serius, pantas dipertanyakan akar kulturalnya.
Dari bagian masa lalu mana watak ini diwarisi? Dari nilai macam apa dan tujuaan seperti apa, dinamika sosial kita bersandar dan bertujuan? Dari aras kontemplasi sejarah kebudayaan seperti apa, Maluku Utara hendak meretas masa depannya, termasuk masa depan demokrasi?
Atau justru fenomena ini adalah bagian dari kegandrungan pragmatisme sebagai akibat dari erosi nilai yang begitu deras, dan sebagian dari kita tak sanggup mengelak dari keterjebakan (atau malah menjebakkan diri) pada simplifikasi tujuan hidup hanya sebatas “senang-susah” dan “untung-rugi”.
Meskipun kerap kali “Senang” yang ditimbun oleh seseorang atau sekelompok orang, justru menimbulkan kesusahan dan derita bagi sebagian yang lain. Meskipun kadangkala “Untung” yang di buru dalam “perjudian hidup” oleh seseorang atau sekelompok orang adalah kerugian, duka cita bahkan petaka bagi sebagian yang lain.
Apakah kita sedih ketika tahu bahwa pada tataran tertentu, ketidakmampuan menata lalu lintas kepentingan dalam urusan “cari makan dan cari jabatan” ternyata makin menggerus modal sosial – yang memang sudah amat langka – seperti kearifan, rendah hati, prinsip lama bahwa, orang punya, orang punya, torang punya, torong punya?
Adakah kita merasa harkat kemanusiaan kita terlucuti, saat menyadari bahwa ketidakbecusan yang pernah kita lakukan (sengaja maupun tidak), ternyata telah melukasi sisi-sisi kemanusiaan orang lain, telah pula menciderai norma dan etika sosial yang selama ini ukuran kepatutan dan kepantasan?
Kita berharap jawabannya “ya”, hingga kita perlu rekontruksi dan reorientasi, tapi bila jawannya “tidak” maka kita mesti seratus persen kuatir, jangan-jangan absurditas ini adalah terminal menuju kehancuran, perpercahan dan kebangrutan yang lebih serius...
Kalau M. Amin Rais, politisi-akademisi menyerukan perbaikan kondisi bangsa Indonesia dalam buku teranyarnya “Agenda Mendesak Bangsa, Selamatkan Indonesia” yang terbit April 2008 lalu, agaknya Maluku Utara pun butuh wacana sama, “Mendesain Agenda Menyelamatkan Maluku Utara”, terutama dari krisis kepercayaan pada norma hukum dan norma sosial yang kini menggejala, dari krisis tanggung jawab moral dan tanggung jawab profesional, juga krisis peneladanan.

Tidak ada komentar: