Jumat, 25 Juli 2008

Senyum Di akhir Hari-hari Murung

Harlina Siradjudin, SS
Gerimis turun di tepi danau Scutari, pinggir kota Titograd Montenegro dan hawa yang dingin waktu itu pada akhir musim gugur 1987, tak mampu menyejukkan hati warga Yugoslavia yang sedang retak. Ratusan perempuan saat itu berdemo melancarkan protes kepada pemimpin Albania, Kosovo, Fadil Hadza atas pernyataannya yang dianggap sangat meremehkan perempuan. (Tito, Sihir Prangka).Namun kiranya pernyataan Hadza yang juga anggota Kepresidenan Federal (sebuah presidium penguasa pasca Tito) yang kemudian menyisakan resah cukup dalam bagi warga Yugoslavia tak seresah dan segundah warga masyarakat Tidore dalam berpuluh tahun merajut asa, menanti datangnya sebuah perubahan negeri ini.. Dengan tidak mengurangi rasa hormat saya kepada pemimpin-pemimpin terdahulu dan tampaknya tidak berlebihan jika saya harus bertutur. “Sekian lama waktu bergulir dan musim pun berlalu silih berganti tanpa kenal lelah, Tidore masih saja berputar–putar dalam lingkaran … DIAM!”“Dulu.., kalau saya pulang dari Ternate kong ujan turun, saya lari sampe amper jatong. Ya, soalnya tete so tua, lari me kaki totofore ha..ha… Sekarang so tarada lagi, tong pe Pemerintah so MULAI perhatikan pa torang “ ujar lelaki tua itu, sebut saja tete Bahim sambil mengulum tabako sek di bibir kirinya, lalu memandang senang atap biru di atas kepalanya. Saya pun mengangguk setuju, sayangnya, tete Bahim setengah badannya sudah masuk ke dalam angkot tujuan Soasio, saya hanya sempat melihat bahu kirinya yang kurus terbungkus kemeja lengan panjang bermotif kotak–kotak warna coklat tua.Saya senang karena tete Bahim adalah orang yang (mungkin) kedua ratus sekian mengatakan hal sama. Mayumi Nakatsugawa, seorang sahabat dari negeri Sakura yang berkunjung kembali Oktober 2001 silam dengan bangga berkata “ Watashi wa ureshii desu. Tidore wa kirei na, tadaima Tidore wa suteki na“. Dengan modal bahasa Jepun yang masih taraf “tatih-tatih” kalimat Mayumi itu bisa saya artikan sebagai; “saya amat senang Tidore jadi lebih Indah. Sekarang Tidore mengagumkan”Tidore kini mulai terjaga dari tidur panjangnya, mungkin itu yang ingin dikatakan Mayumi, saya bisa menangkap matanya yang cipit mengitari pojok kota, di sekitar RSU sampai ke pasar Sarimalaha dengan penuh kekaguman, tidak seperti beberapa tahun lalu, waktu ia berkunjung ke Tidore. Mayumi diam saja dari Rum sampai balik lagi ke Rum. Saya pun teringat ucapan seorang wanita yang pernah mengunjungi Stand Tidore di Jogyakarta saat Festival Keraton 2004 lalu. “Mbak, kok namanya Tidore sih, orang-orangnya suka tidur ya? Refleks tatapan saya mengarah tajam, seperti ingin menembus kedua bola matanya. Ingin rasanya saya pelintir lidah perempuan itu, tapi… “Nenek moyangku akan mengutukmu, jika kamu berpikiran seperti itu“.. cuma itu yang keluar dari mulut saya. Selebihnya geram bercampur sedih. Saya hamper tak kuasa mengendalikan emosi, kata –kata wanita berparas ayu itu terasa bagai menohok tepat di ulu hati. Entah saat itu rasa malu, menyesal atau sekaligus keduanya. Detik berikutnya tatapan saya mengambang ke langit-langit Jogya Expo center, agar air mata saya tak sampai jatuh. Wanita itu pun berlalu sambil meninggalkan kata maaf yang terdengar sumbang di telinga saya.Dua tahun perjalanan Mahifa-Adrias, Tidore kini mulai bergeliat, perlahan bangun dari tidur panjangnya yang sepi, “perlahan namun pasti“, bisik hati saya, begitu pun kata orang-orang di sekitar saya setelah berbincang di tempat duduk depan rumah tetangga, suatu sore sehabis hujan. Dua tahun Mahifa-Adrias merangkul negeri leluhur ini, dan saya lihat Tidore mulai berwarni-warni bak dalam film kartun. Keduanya sesuai Visi “Terwujudnya Kota Tidore Kepulauan yang beriman, maju, mandiri dan berperadaban“ ternyata tak hanya sepenggal janji yang di ukir di atas pasir dan seketika lenyap disapu riak kecil sekalipun. Para Imam dan Sara, juga petugas kebersihan kini bisa lega. Setidaknya keringat mereka tidak cuma jatuh ke tanah lalu kering di telan bumi.“It’s a very greats! I am not just proud but must be salute“, begitu SMS dari seorang sahabat di larut malam sunyi pada paruh bulan Desember 2007 silam. Tidore pancarkan terus warna-warnimu, jangan pernah redup lagi. Lihat, pucuk-pucuk cemara di kaki Marijang menari gemulai dibelai bayu senja, dan Marijangpun kembali tersenyum setelah sekian lama murung dalam kebisuan. Alah o vin benu; semoga Allah memberkati Anda.
a specially dedicated to Mahifa-Adrias

PUTERI RAEMAWASTI (PUTERI INDONESIA 2007)


Apa apresiasi anda untuk event Legu Gam Maluku Kie Raha 2008?

Ini event tradisi dan budaya yang jarang sekali ditemui di daerah lain. Saya sangat bangga dan senang bisa menyaksikannya. Selain itu, begitu banyak rakyat memberi support, walau kegiatan ini semalam penuh, mereka tetap bersemangat menyambut bermacam acara yang disajikan. Diharapkan akan timbul kecintaan tarhadap tradisi dan adat Ternate itu sendiri oleh rakyat, juga kedekatan Sultan serta Ratu dengan rakyatnya.

Sebagai Puteri Indonesia, apa harapan anda untuk masyarakat Maluku Utara?

Oh ya, paling tidak mereka harus mencintai budaya, terutama mayarkat di daerah-daerah pariwisata, yang di dekat pantai dan sebagainya, yang terpenting mereka mampu berwiraswasta, membuka warung-warung yang juga harus di support oleh pamerintah daerah.

Sebelum tiba di ternate, lewat media mungkin santer terdengar soal kisruh politik dan lain sebagainya, setelah di sini apa yang anda rasakan?

Memang kedengarannya seperti itu, tapi setelah saya tiba disini saya tidak merakan apapun, Boki (Nita Budi Susanti-red) juga menjelaskan, bahwa itu hanya opini, tapi sesungguhnya tidak seperti itu. Jadi, setelah beberapa hari disini apa yang diberitakan tidak terjadi. Tidak ada hal yang perlu dikuatirkan.

Apa masukan anda untuk pengembangan pariwisata Maluku Utara?

Banyak tempat peristirahatan dan tempat wisata yang sejauh ini tidak dirawat dengan baik, bahkan kurang sekali perhatian. Jadi pariwisata sebenarnya bisa dibangun dan itu tergantung dari pemerintah serta masyarakat yang sadar wisata, karema walau pemerintah mengeluarkan bisa mendanai, tapi tidak ada dukungan masyakat, atau sebaliknya, kan tidak maksimal. Masyarakat pun sebenarnya tidak sekadar sadar wisata, tapi sesunggunya mereka adalah pelaku utamanya. Jadi, saya senang sekali jika mereka bisa menjaga tradisi, pergaulan dan bahasa daerahnya. Karena itu adalah ciri khas yang tak bisa ditinggalkan.

Apa masukan anda untuk event Legu Gam tahun depan?

Untuk Legu Gam tahun depan, kalau saya sarankan dibuat di salah satu tempat pariwisata, misalnya di tepi danau Tolire, atau salah satu tempat wisata di tepi pantai, jadi acara ritualnya dilaksanakan di Ngara Lamo, dan untuk acaranya tidak hanya acara-acara yang bersifat tradisi, tetapi juga bagaimana meng-exposse tempat-tempat wisata. Jadi ivent-ivent itu bisa di gelar di tempat-tempat berbeda.

Strategi Penguatan Kelembagaan Adat


Panitia Legu Gam 2008 menghelat Semiloka bertema; “Masyarakat Adat dan Perumusan Negara, Strategi Penguatan Kelembagaan Adat dalam Regulasi Daerah”. Ini bagian dari rangkaian acara Legu Gam yang berlangsung Sabtu, 12 April 2008, di Amara Hotel Ternate. Semiloka ini bertujuan menghasilkan rekomendasi tentang idealitas pemerintahan daerah kedepan juga poininter rumusan sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Peraturan Daerah, termasuk tentang Desa di Ternate. Semiloka yang mendaulat 4 (empat) narasumber berkompiten dan dihadiri elemen kemasyarakatan dan Pemuda, akademisi, serta tokoh-tokoh adat Maluku Utara yang berjumlah lebih dari 250 orang. Kegiatan ini menarik minat para peserta yang mengajukan beragam pertanyaan sebagai respon atas pemaparan para narasumber. Sultan Ternate, Drs. H. Mudaffar Sjah, Bc.Hk memaparkan secara luas tentang “Sejarah Hukum Adat dan Lingkungan Hukum Adat Moloku Kie Raha” (Maluku Utara). Menurutnya, masyarakat adat di Maluku Utara mempunyai pranata kelembagaan adat yang terdiri atas Kolano (Sultan) sebagai pemimpin, Kedaton sebagai pusat pemerintahan adat dan budaya serta Balakusu se Kano-kano sebagai rakyat, telah hidup damai sejak dahulu kala karena didasarkan pada sandaran hukum adat yang disebut Falsafah “Jou se Ngofa Ngare”. Drs. Samsul Widodo, MA (Direktur Kawasan Kawasan khusus dan Daerah Tertinggal Bappenas) berfokus pada aspek Perencanaan dan Penyusunan Program Berbasis Perdamaian (Peran Masyarakat Adat Dalam Perumusan Kebijakan). Dikemukakan bahwa peran strategis kelembagaan adat tidak sekedar melestarikan budaya nasional melainkan juga ikut mendorong penguatan “kearifan lokal” sebagai modal sosial pembangunan (katalisator dalam masyarakat, instrumen pelestarian lingkungan serta menciptakan harmoni dan integrasi masyarakat dengan berbagai hukum adatnya. Herman Oesman, Msi. (Dosen UMMU Ternate) menambahkan informasi seputar Masyarakat Adat dan Pembangunan di tengah Komodifikasi atas Tanah. Menurutnya, paradigma pembangunan dalam bentuk industrialisasi hutan, laut juga lahan pertanian, membuahkan pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat adat dan pendukung tradisi. Tanah telah menjadi komodifikasi bagi pembangunan, yang berpotensi meminggirkan hak-hak masyarakat adat. Pada posisi ini, harapan munculnya pertemuan antara tradisi dan pembangunan untuk melahirkan landasan dan prinsip keadilan serta perdamaian, ternyata tidak pernah terwujud.Di bagian akhir, King Faisal Sulaiman, SH dari LBH Malut menggunakan contoh kasus sengketa agraria dimana terdapat banyak tanah adat dan sejumlah hak ulayat lainnya yang digarap dan digunakan untuk kepentingan pembangunan daerah secara sepihak dan menimbulkan kerugian secara materil bagi masyarakat adat. Contoh Tanah Ulayat faktanya telah tersingkirikan secara sistematis. Masyarakat adat bahkan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan penting berkaitan dengan esksitensi hak-hak ulayat tersebut. Konflik masyarakat adat Ternate dengan pemerintah yang tak kunjung usai hingga sekarang terkait penggunaan tanah adat untuk kepentingan perluasan bandara Sultan Babullah, merupakan salah dari sekian banyak persoalan hak ulayat yang terdapat di wilayah Kesultanan Ternate. Kesimpulan akhir dari Semiloka ini ialah: Pertama, terpinggirnya masyarakat adat dari gempita kemajuan modernitas tidak terbatas pada hak-hak mereka terhadap tanah atas nama pembangunan tetapi lebih dari itu yaitu hilangnya identitas lokal dan rasa percaya diri mereka. Kedua, ancaman bagi kelembagaan adat adalah dapat digunakan sebagai alat politik kekuasaan serta munculnya “ego” kedaerahan yang berdampak pada konflik horisontal. Ketiga, tantangan ke depan adalah rendahnya kapasitas masyarakat adat (peran inisiasi, bukan mobilisasi), serta penyesuaian sistem dan budaya adat dengan perkembangan jaman.

Partai Islam, Perlu Pergeseran Paradigma


PERJALANAN partai-partai politik di Indonesia mengalami pasang surut yang luar biasa dalam beberapa tahun ini. Selain kepedulian terhadap konstituen (baca: masyarakat), juga partai politik ternyata lebih menyisakan kecenderungan untuk memperjuangkan kepentingannya. Alih-alih, partai politik senang “bertarung” dalam tataran wacana kekuasaan, dan jarang memasuki wilayah yang selama ini menjadi kebutuhan masyarakat.
Bagaimana dengan partai-partai Islam? Bisa dikatakan setali tiga uang, berbagai performance politik yang ditampilkan, termasuk komunikasi politik masih berada dalam “perebutan” hegemoni untuk mendulang simpati masyarakat. Kita cenderung menafikan gebrakan partai politik Islam yang santun bersuara dan bergerak pada tataran terbawah untuk melakukan pendampingan terhadap berbagai penderitaan yang dialami masyarakat.
Kecenderungan lain yang muncul adalah tampilnya konflik secara internal yang tidak mampu ditata-kelola para politisi secara lebih berenergi bagi keberlangsungan program-program partai. Partai hanya dikenal masyarakat ketika geriap pesta politik digelar. Setelah itu, partai seperti kehilangan nuansa, sunyi dan seolah-olah mati suri. Program-program yang diancangkan dalam berbagai rapat kerja atau pun juga “fatwa” kandidat yang hendak memimpin satu partai politik terkadang tak mampu terlihat nyata ketika partai itu berkibar.
Pada konteks ini, peran partai politik –termasuk berlabel Islam—sudah semestinya dikelola lebih pada konteks sosial, artinya, partai sudah waktunya digeser untuk tidak lagi melihat kepentingan masyarakat dalam skope yang lebih sempit, hanya berdasarkan ideologi yang ada. Karena sekali lagi, partai hanyalah sebagai alat agregasi dan penyalur aspirasi masyarakat untuk tujuan politik mereka yang lebih mulia, yakni bagaimana mereka dapat menggenggam harapan-harapan, bukan menggenggam mimpi-mimpi. Yang terjadi, adalah partai justru menjadi alat kepentingan elit untuk meraih harapan-harapan sesaat melalui kekuasaan. Di sini yang harus diantisipasi adalah bermainnya kelompok oligarkhi dalam partai politik Islam, ketika kepentingannya tidak terwujud, dan masyarakat menjadi legitimator untuk “merestui” kepentingannya. Bila konteks ini terjadi, apa bedanya partai politik Islam dengan lintah darat ?
Menurunnya kecenderungan terhadap partai-partai politik, termasuk partai politik Islam, sudah harus ditafsir bahwa partai-partai politik mengalami dilema paling akut, yakni mulai menipisnya kepercayaan politik masyarakat. Untuk itu, gaya dan metode yang selama ini selalu diagungkan partai politik Islam harus dirubah, harus ada shifting paradigm (pergeseran paradigma), bahwa partai politik Islam, semata-mata untuk kemaslahatan ummat dan masyarakat, bukan untuk kepentingan elit. Dalam konteks ini, maka, kehadiran partai politik Islam harus terus dikawal, ditata-kelola dan diperbaiki, sehingga dapat menjadi alat politik paling efektif untuk memperjuangkan kepentingan ummat dan masyarakat.


GENTA UTAMA

QUO VADIS PARTAI ISLAM?

Mengapa partai Islam kalah dalam setiap pemilu, pasca 1955? Apakah karena banyaknya partai Islam? Ataukah figur dari kalangan Islam yang kalah populer dengan partai di luar ideologi Islam. Ataukah ada faktor “x” yang melatarinya?

Apa yang sesungguhnya sedang terjadi pada umat Islam di negeri Muslim terbesar di dunia ini? Mengapa Islam tampak kurang kuat sebagai azas formal untuk menarik dukungan? Mengapa mayoritas Muslim justru mendukung partai-partai Nasionalis-Sekuler? Apakah fakta ini menunjukkan bahwa umat Islam semakin kurang percaya bahwa aspirasi mereka akan diakomodasi secara layak oleh partai-partai Islam; dan justru lebih yakin aspirasi itu akan terakomodasi oleh partai-partai non Islam? jika memang ketidakpercayaan semacam itu, apa penyebabnya? apakah karena para politisi islam yang mewakili partai-partai itu dianggap tidak kredibel, baik secara moral, intelektual maupun teknikal?
Pertanyaan-pertanyaan itulah yang acapkali mencuat dan menjadi bahan diskusi dan pembahasan di kalangan intelektual muslim. Padahal sejarah kebesaran partai Islam di Indonesia tidak terlalu mengecewakan. Pertarungan Pemilu 1955 bisa dirujuk sebagai bukti kejayaan partai Islam masa lalu itu. Dimana empat besar partai Islam seperti Masyumi, Partai NU, PSII, dan Perti, memperoleh suara di parlemen sekitar 45,2 persen pada Pemilu yang oleh para indonesianis dianggap sebagai pemilu paling demokratis.Perolehan suara ini masih dibawah partai nasionalis plus partai non-Islam yang memeproleh 54,8 persen. Fenomena ini kemudian terulang lagi pada pemilu 1971; NU memperoleh suara 18,67 persen, Parmusi 7,36, PSII 2,39 dan Perti 0,70 persen. Sementara dari partai nasionalis plus Golkar, 62,8 persen, PNI 6,94, Parkindo 1,34 dan Partai Katolik 1,11 persen. Bahkan dalam Pemilu 1977 –setelah fusi- 1973 perolehan suara kelompok Islam lewat PPP merosot 29,3 persen. Dan kemerosotan ini tetap berlanjut dalam pemilu-pemilu selanjutnya 1982 (27,8 persen), dan 1987 16,0 persen) dan dalam pemilu Orde Baru terakhir PPP mampu menaikkan suaranya dari 16 persen (1992) menjadi 22 persen.
Majalah TEMPO edisi 04-03-2004, menulis, bagi politisi Islam, sumber utama merosotnya popularitas partai Islam sepanjang Orde Baru dibanding pada masa demokrasi parlementer tahun 1950-an adalah otoritarianisme Orde Baru. Bukan hanya di jajaran elite Golkar, di jajaran elite PPP pun agenda utama yang harus mereka lakukan adalah bagaimana caranya agar disukai Soeharto dan mendapat dukungannya. Represi rezim Soeharto ini menutup kesempatan bagi karier politik warga, termasuk mereka yang berlatar belakang santri, kecuali lewat Golkar dan birokrasi. Akibatnya, Golkar dipenuhi bukan saja oleh mereka yang berlatar belakang sekuler tapi juga yang berlatar belakang santri karena, hanya dengan menjadi bagian dari kekuatan politik Orde Baru tersebut, karier politik mereka relatif terbuka. Rasionalitas kekuasaan pada akhirnya mengalahkan sentimen dan solidaritas politik Islam. Pertanyaannya, apakah hanya karena represi Orde Baru—sehingga bila represi tersebut berakhir, politik berasas Islam kembali menguat?
Pemilihan Umum 1999, tulis TEMPO, yang secara umum dinilai demokratis, merupakan tes pertama terhadap kesungguhan umat Islam Indonesia terhadap politik sekuler. Dalam Pemilu 1999, muncul kembali sejumlah partai berasas Islam. Di antaranya adalah PPP, PBB, dan Partai Keadilan. Tapi juga muncul partai baru yang berbasis sosial Islam tapi berasas non-Islam, yakni PKB dan PAN. Sebagaimana telah kita ketahui, total perolehan suara dari tiga partai yang berasas Islam tersebut hanya sekitar 14 persen, atau sekitar 17 persen kalau partai-partai berasas Islam lain dimasukkan ke dalamnya. Proporsi perolehan suara seluruh partai berasas Islam ini tidak jauh berbeda dengan yang diperoleh PPP setelah NU keluar dari partai tersebut. Jadi, tidak ada perbedaan signifikan dalam perolehan suara partai Islam, baik pada masa rezim otoritarian maupun rezim demokrasi.

Apa yang Salah dari parpol Islam?
Menurut almarhum Kuntowijaya dalam artikelnya di harian Republika (1 Juni 1999) umat Islam kebingungan karena banyaknya partai Islam. Dengan kata lain, umat dibuat bingung oleh elitnya sendiri. Ini juga diakui oleh Khamami Zada (Republika, 24 April 1999) yang mencoba meneropong problem empiris politik Islam. Yakni, problem pertama, adalah kemajemukan kelompok Islam, PKB(?), PAN (?), PBB, PUI, PKS, PSII, Masyumi Baru, PKU, PNU dan parpol senafas. Mereka adalah partai-partai yang berazaskan Islam, atau minimal konstituennya Muslim. Mengapa mereka tidak mendirikan satu wadah partai Islam saja? Kenapa satu Islam, banyak partai? Bukankah mereka satu keyakinan agama (Islam) dan sasaran perjuangannya untuk umat Islam? Dimensi kemajemukan inilah yang mengakibatkan kelompok-kelompok Islam tidak (bisa) bersatu dalam wadah parpol, mengingat keragaman kepentingan dan perjuangannya. Kedua, akibat kemajemukan ini sangat rentan terhadap potensi konflik akibat polarisasi kepentingan politik yang ingin diraih masing-masing partai Islam. Pada wilayah ini, ukhuwah islamiyah (solidaritas Islam) sudah tidak tercermin secara nyata.
Ketiga, politik Islam di Indonesia secara umum belum berhasil mencapai efektivitas politik. Kondisi ini disebabkan oleh tidak adanya seorang pemimpin pemersatu. Umat Islam tidak memiliki seorang pemimpin yang bisa diterima semua kelompok. Keempat, adanya estimasi yang berlebihan dari partai-partai Islam dengan jumlah mayoritas umat Islam. Padahal secara empiris-historis, meskipun jumlah umat Islam mayoritas, partai Islam tidak pernah memenangkan pemilu. Fenomena ini sepatutnya disadari oleh elit politik Islam; Bahwa jumlah mayoritas bukan jaminan memperoleh banyak suara. Karena umat islam kini semakin rasional dalam memilih partai, tidak lagi hanya karena primordialisme (agama).
Hampir senada dengan itu, menurut Darsis Humah, Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU) kelemahan Parpol Islam karena faktor internal partai. Banyak perpecahan mulai tingkat DPP sampai pada level DPC. Selain itu, tokoh partai Islam tidak menunjukkan moralitas Islam yang sesungguhnya. Bukan rahasia lagi, banyak anggota legislatif yang sebagian memang baik moralitasnya, tapi sebagian hanya terkungkung pada urusan ‘uang’ dan urusan ‘perempuan’. Itu membuat mereka lemah. Ini juga karena ketiadaan ideologi yang kuat dan pemahaman ke-Islamannya tidak mencerminkan sebagai figur ulama. Partai Islam dalam konteks lokal, tidak pernah mengartikulasikan kepentingan masyarakat bawah, seperti kekurangan pangan, kelangkaan BBM. Partai politik tidak pernah mendiskusikan soal ini. Mereka tidak pernah menyundul persoalan pendidikan yang mahal, atau pelayanan kesehatan yang buruk.
Soal membangun komunikasi bersama antar partai Politik Islam menurut Darsis kalau orientasinya bertumpu pada kekuasaan tidak perlu. “Untuk apa bicara kepentingan umat. Selama ini masing-masing partai Islam ingin cari selamat sendiri, “sergahnya.
Tak beda jauh dengan Darsis, Herman Oesman salah satu staf pengajar sosiologi UMMU melihatnya dari sisi manajemen partai yang tak pernah menyentuh kepentingan bawah, terutama aspirasi masyarakat Islam. Yang kedua, partai plitik Islam lebih pada orientasi kekuasaan. Dan Parpol Islam harus membangun trust. Kepercayaan dan komitmen dari partai Islam terhadap masyarakat Islam itu sendiri.
Sementara itu menurut Eep Saefulloh Fatah, Dosen UI, kalangan Islam terutama partai Islam sudah harus mengakhiri kekeliruan selama ini. Ada 25 kekeliruan yang dialami kalangan Islam (lihat Box).

Mempersatukan Politik Islam, Mungkinkah?
Umat Islam sebagai mayoritas di Indonesia harus semakin disadari menyimpan potensi yang kuat dalam membangun bangsa dan negara, nation building, bukannya dimanfaatkan untuk komoditas politik. Peran aktifnya adalah pembangunan. Maka resepnya adalah bersatu atau dalam bahasa agama disebut, ukhuwah. Bukankah Nabi pernah mengingatkan kepada kita, Ummat Islam terhadang oleh Islam sendiri? Bukankah kekalahan perang Uhud disebabkan tidak bersatunya itikad umat islam sendiri?
Partai Islam harus diyakinkan kembali pentingnya inklusivisme politik Islam. Yakni, partai-partai Islam tidak hanya memperjuangkan kepentingan umat Islam semata, tapi juga untuk kepentingan semua umat beragama secara menyeluruh. Dalam bahasa agama disebut rahmatan lil’alamin.

Tim (berbagai sumber)

Parpol Islam; Formalisme, Substansial dan Godaan Kekuasaan

Banyak tokoh Islam terhenyak, ketika pada era 1970-an, Cak Nur – panggilan akrab almarhum Nurcholish Madjid - melemparkan jargon Islam Yes, partai islam no. Yang merasa terpukul saat itu adalah Partai besar Masyumi. Karena bagi Masyumi, jargon yang dilontarkan itu tak menguntungkan secara politis bagi partai berlambang bulan bintang itu. Alasan itu sangat wajar karena Masyumi merupakan saluran dan aspirasi politik umat Islam waktu itu.
Tapi kemudian, jargon itu sepertinya membuktikan, kalau Partai Islam pasca pemilu 1955 dan sampai pada tahun 2004 kemarin, tak mendulang suara signifikan di parlemen. Malah sebaliknya menurun hingga level yang sangat dramatis. Masih untung wajah umat Islam diselamatkan oleh PPP dan PKS yang meski lolos electoral threshold (ET) tapi tetap tak bisa mengimbangi suara partai nasionalis. Apakah ini pertanda umat tidak lagi mementingkan simbol atau perlambang, melainkan isi dan substansi?
Hajriyanto Y. Thohari, politisi Golkar dan mantan ketua PP Muhammadiyah dalam tulisannya di majalah GATRA edisi 21, 10 April 1999, memberikan beberapa argumen. Pertama, proses deformalisasi atau desakralisasi partai-partai Islam diam-diam terus berlangsung secara signifikan, seiring dengan dinamika intelektualisme Islam yang berkembang sangat dahsyat sejak beberapa decade terakhir. Jumlah umat yang makin progresif dan liberal dalam memahami doktrin Islam tentang politik makin meningkat tajam : tidak lagi bersifat legalistic, formalistik, dan simbolistik, melainkan lebih substansialistik.
Akibatnya identifikasi politik umat Islam terhadap partai Islam tak lagi taken for granted seperti tempoe doeloe. Malah meski gradual, cenderung makin permisif. Mafhum mukhalafah-nya, dalam bahasa Cak Nur dan murid-murid protagonisnya: penganut “Islam, yes; partai Islam, no” seperti yang telah disentil diatas, kian hari kian bertambah, karena hadirnya kesadaran bahwa yang penting adalah substansi, bukan formal.
Kedua, tidak seperti pada dekade 1950 tatkala perbedaan antara partai Islam dan yang “sekuler” tidak lagi signifikan. Dari segi platform dan figur kepemimpinan, rasanya sulit mencari perbedaan keberislaman antara partai –partai Islam dan partai-partai sekuler. Golkar, misalnya kini bukan hanya tampil dengan paradigm dan visi baru –antara lain memahami doktrin karya kekaryaan sama dengan konsep amal salih dalam Islam-melainkan juga dipimpin banyak kader bangsa yang memiliki social origin gerakan Islam. Beberapa elit partai Golkar adalah aktivis dengan latar belakang organisasi ekstra mahasiswa Islam seperti HMI, pemuda Muhammadiyah dan sejenisnya.

Formalisme, Substansial dan Godaan Kekuasaan
Menurut Thohari, kesadaran politik umat semakin dewasa, tidak lagi mudah silau dan terpedaya dengan simbol-simbol eksoteris. Partai apapun, bahkan yang berjubah Islam sekalipun, akan diuji kesejatiannya: apakah mereka menjadikan Islam hanya sebagai basis solidaritas politik untuk memobilisasi dukungan yang berarti memobilitisasi agama, ataukah penegak nilai-nilai universal Islam yang sejati. Politisasi agama berarti mendistorsikan agama menjadi sekedar komoditas politik, atau alat legitimasi pencapaian kepentingan politik terbatas.
Bagi Thohari, kepedulian umat kini agaknya lebih substansial, yakni tegaknya nilai-nilai ideal menurut Islam, seperti keadilan, persamaan, dan demokrasi. Bukan lagi pada simbol-simbol hasil manipulasi para demagog.
Sementara menurut almarhum Kuntowijaya (Republika, edisi 1 Juni 1999) secara eksternal dalam urusan kebangsaan, umat harus; menggantikan cara berpikir berdasar polarisasi (pengkutuban) antara Islam versus Sekuler” menjadi cara berpikir berdasar range (rentang) di mana ada partai berasas Islam, ada partai berdasar objektivitas, ada partai berdasar spasialisasi dan ada partai sekuler. Kebiasaan cara berpikir “kita lawan mereka” atau “we lawan they” perlu digantikan dengan we lawan it” dengan kata lain, bangsa ini bersama-sama sedang menghadapi banyak masalah, seperti kemiskinan, kesenjangan, demokratisasi, penegakan hokum, dan sebagainya. Umat Islam (we) adalah bagian bangsa yang tengah dirundung masalah (it). Musuh Islam bukan orang, tapi permasalahan. Musuh partai Islam dan partai bernuansa Islam bukanlah partai non Islam, tapi problematika bangsa. Islam tidak akan maju-maju selama umat masih beranggapan bahwa musuh besarnya ialah kelompok lain (Muslim dan Non Muslim), dan lupa bahwa ada masalah yang meminta perhatian sungguh-sungguh. Seluruh energi ditumpahkan untuk memerangi “musuh palsu” yang sebenarnya bukan sasaran, sehingga ketika menghadapi “musuh” yang sebenarnya energi sudah habis.
Makanya menurut Darsis Humah, Dekan Hukum Fakultas Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU) yang juga magister di bidang hukum tata Negara UI, ini sangat menyayangkan, partai Islam tak satupun yang berkomentar ketika terjadi kelangkaan BBM, harga beras naik dan persoalan-persoalan lain yang dihadapi masyarakat. “Mereka terlalu sibuk dengan momen pemilihan gubernur, pemilihan bupati/walikota. Padahal fungsi partai politik itu bagaimana bias mengagregasi dan mengartikulasi kepentingan masyarakat,”tandasnya kepada CADIK.
Bukan hal baru kalau partai politik Islam hanya mengejar kekuasaan. Dan ini juga diakui oleh Azumardi Azra,mantan IAIN Syarif Hidayatullah –sekarang Universitas Islam Negeri- mengutip Panji Masyarakat edisi 23 Juni 1999 mengatakan, “Saya melihat kemunculan banyak partai sekarang ini disebabkan persoalan kekuasaan saja, bukan persoalan khilafiyah atau furu’iyah. Islam di Indonesia kalau kita mau sederhanakan, kan hanya terdiri dari dua sayap, yaitu yang biasa disebut tradisionalis dan yang kedua biasa disebut modernis-reformis. Mengapa begitu banyak partai di kalangan yang sama, menurut saya, karena banyak sekali yang mau jadi jenderal, tapi tak ada yang mau jadi kopral. Ringkasnya, kemunculan banyak partai Islam sekarang ini betul-betul karena motif politik, bukan karena motif agama,”
Kondisi tersebut lanjut Azra menggunakan istilah Cak Nur, elit Islam di sini membentuk partai lebih didorong oleh semangat persaingan politik, pengaruh, dan sekaligus persaingan merebut kekuasaan, tapi kemudian gagal meraih dukungan umat Islam.
Nah, bagi Cak Nur sendiri, menilai kegagalan partai-partai yang mengaku Islam adalah kegagalan simbol dan ini juga dialami oleh Partai Nasionalis Indonesia.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana prospek parpol Islam pada Pemilu 2009? Kita lihat saja apakah semakin terpuruk ataukah mampu meraup dukungan umat . Tim (berbagai sumber)

Momen
Menimbang Nasib Kartini
Peran perempuan masih banyak terpinggirkan. Karena kuatnya budaya patriarkhi. Apakah Perempuan belum diberi peran ? Ataukah keberpihakan pemerintah belum maksimal ?

Sejak jam 03.00 pagi buta, perempuan paruh baya itu berangkat dari rumah. Kadang dengan mobil penumpang atau ojek dari tempat tinggalnya yang berjarak sekitar 5 km arah utara kota Ternate. Sesaampai di tujuan, perempuan itu mengeluarkan peralatan sederhana. Sapu. Tugasnya membersihkan sepanjang jalan Sultan Khairun yang terletak di kelurahan Makassar Timur. Ketika –habis gelap, terbitlah terang– perempuan itu sudah menyelesaikan kerjanya, lalu pulang ke rumahnya.
Setiap pagi perempuan paruh baya (42 tahun) bernam nama Ratna itu menjalani hidup sebagai penyapu jalan. Ratna tak sendirian. Banyak yang memiliki nasib seperti dia. Perempuan-perempuan yang bekerja pada sektor informal. Mulai dari penyapu jalan, penjual ikan, dan sejenisnya.
Lain lagi dengan, sebut saja Bunga (27) yang harus melayani lelaki hidung belang setiap malam. Perempuan muda yang berprofesi sebagai PSK ini menjalani hidup karena desakan ekonomi keluarga. Ia tak memiliki pendidikan memadai dan tak punya keterampilan khusus untuk bekerja. “Satu-satunya” jalan untuk bertahan hidup, janda 2 anak ini harus rela menjadi PSK. “Kalau saja saya punya ketrampilan, saya akan berhenti menjadi PSK dan menjalani hidup normal, tapi,……(ucapannya terhenti karena ia menyinggung pemerintah tak pernah tahu nasibnya)
Ratna dan juga Bunga adalah satu dari sekian banyaknya perempuan yang menjadi perjuangan Kartini yang setiap 21 April diperingati bangsa Indonesia. Perjuangan untuk membela hak-haknya sebagaimana yang dilakoni mitranya, kaum laki-laki. Toh nasib kaum perempuan tak banyak berubah. Padahal hari Kartini dimata Wardah Amelia Amal, penulis dan wiraswastawati, merupakan tonggak pembaharuan bagi lebih majunya kaum perempuan dalam banyak hal. “Di Maluku Utara, menurut saya, kemajuan perempuan sangat lambat. Kurang gemanya, dan nasibnya masih terpinggirkan. Kadang karena perempuannya sendiri yang tidak ada kemauan untuk maju, Dan kadang karena laki-laki yang menghambatnya. Budaya sini belum kondusif,”cecar, adik penulis Taufiq Adnan Amal ini.
Untuk itu, menurut Wardah, perempuan harus mengejar ketertinggalannya. Walaupun dalam beberapa hal perempuan lebih unggul. Ini bukan sekedar masalah persamaan hak dan kewajiban, karena laki-laki kadang tidak ikhlas berbagi hak. Perempuan harus menjadi manusia yang terus maju dari hari ke hari dan harus terus merubah dirinya lebih positif.
Sementara bagi pejuang kesetaraan gender, M. Rahmi Husen, perjuangan Kartini pada masanya hingga kini terus memberi inspirasi yang bukan hanya pada perempuan tapi juga bagi laki-laki. Alasannya, karena keadilan dan kesetaraan yang saat ini menjadi isu penting dan strategis bagi perjuangan perempuan di Indonesia, termasuk parampuang di Maluku Utara, hanya bisa tercapai kalau dua pihak ini (terutama laki-laki) saling bekerjasama dan menghargai. Khusus di Maluku Utara, perhatian pemda provinsi dan seluruh pemda Kabupaten/Kota terhadap isu-isu perempuan sungguh-sungguh masih kurang. “Yang dipikirnya, dengan memfasilitasi PKK atau Dharma Wanita itu sudah menjawab kebutuhan dan kepentingan perempuan. Ini cara berpikir model lama yang masih saja tetap diawetkan hingga kini, “imbuh ketua KPU Provinsi Maluku Utara ini.
Rahmi juga mengeritik peran pemerintah yang melupakan agenda-agenda strategis perempuan di Maluku Utara yang mestinya mendapat perhatian yang sungguh-sungguh. Antara lain keterpinggiran perempuan dari dunia pendidikan (mulai dari TK, SD, hingga Perguruan Tinggi). Yang kedua, akses kesehatan, terutama kesehatan reproduksi yang sangat buruk , akses yang rendah terhadap sumber daya alam, utamanya sumber-sumber ekonomi, keterkucilan perempuan dari dunia politik, masih kuatnya budaya patriarkhi, adat yang kurang toleran pada perempuan dan penafsiran agama yang sering mendiskriminasi perempuan. Begitu juga dengan tingkat kekerasan dalam berbagai bentuk yang cenderung meningkat, APBD yang melupakan kepentingan dan kebutuhan perempuan, dan lain-lain.
Sementara soal kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Maluku Utara menurut Mantan Ketua Umum HMI Cabang Ternate, Mariyam Mahmud yang diulasnya dalam opini (Malut Post, 23 April) Ibarat gunung es. Yang muncul kepermukaan hanya sebagian kecil. Karena malu melapor akhirnya didiamkan. Karena kasus KDRT masih ditangani oleh aparat laki-laki yang membuat korban merasa malu dan tak mau terbuka dalam menceritakan kasus yang dialaminya. Tak hanya itu KDRT kurang mendapat bantuan hukum dari tenaga paralegal dan pengacara yang tidak memungut biaya dan berempati terhadap kekerasan yang dialami perempuan.
Mestinya ungkap Rahmi, “hari Kartini dirayakan dengan cara kita faduli dengan mendesain program yang fokusnya untuk ikut mengatasi berbagai problem yang dihadapi perempuan Maluku Utara saat ini dan kedepan,”tambahnya.
Soal “perayaan” juga diakui Nukila Amal, penulis yang telah menelorkan dua novel bernas; Cala Ibi dan Laluba. Menurutnya, peringatan hari Kartini ini sangat perlu sebagai momentum untuk menciptakan kesadaran dan tindakan-tindakan kolektif tertentu. Misalnya hal-hal yang berkaitan dengan ke-perempuan-an di hari Kartini, meskipun bagi dia secara pribadi, hari Kartini tidak ada artinya.
Nukila benar, bahwa hari Kartini tidak ada artinya bagi dirinya, karena Ratna, perempuan penyapu jalan itu juga tak pernah tahu apa sesungguhnya hari Kartini. “Saya hanya dengar dan lihat di TV,” katanya lugu kepada GENTA yang menemuinya pukul 04.00 subuh (23/4). Tapi satu permintaan Ratna, ”kalau boleh, pemerintah perhatikan pa kitorang.” lirihnya. (yudhi).

TERAS

Terbit

satu metafor, tentang awal dari harapan, dari yang cemerlang dan bersinar, dan oleh karenanya ia menjadi dambaan untuk mengantarkan proses atau transisi dari yang redup ke yang bersinar, dari yang gelap ke terang. Ia adalah kata‘terbit’.
Matahari terbit menyingkap malam dan pagipun tumbuh, gelap terhalau. Lalu alam, manusia dan makhluk Tuhan lainnya menggeliat, menempuh hidup menuju harapan yang lebih baik. Barangkali karena spirit itu (RA) Kartini, menulis Habis Gelap Terbitlah Terang. Risalah tentang obsesi Kartini muda, mengubah warna dan image perempuan kita (saya dan anda) dari “kepapaan”, ketertindasan menjadi lebih bermartabat. Emansipasipun kemudian jadi resep ‘cukup’ manjur untuk obsesi itu. Kata ”cukup” ditambahkan di sini sebagai catatan bahwa tidak semua dari obsesi Kartini mampu mengubah “wajah” perempuan kita lebih bersinar, lebih terang. Karena bahkan Kartini dan Ibunya pun kurang terlalu ‘beruntung’ dengan pengalaman dalam berumah tangga mereka. Manajemen rumah tangganya yang patriarchies.
Sejarah tak lagi banyak mencatat kisah pendekar emansipasi ini dalam kurun waktu itu. Mungkin sejarah tak “berani” mengungkap sisi lain, sisi kemanusiaan dari seorang berstatus “hero”. Padahal kemanusiaan kita dekat dengan lemah, khilaf, jenuh, dan sebagainya.
Meskipun begitu, perempuan seperti Kartini, Dewi Sartika, Cut Nyak Dhien, Cut Mutiah, Nyi Ageng Serang, dll mesti kita kenang dengan baik, karena ke-pelopor-an, keberanian, dan karena mereka memulai sesuatu yang bahkan tak sempat terpikirkan oleh kita. Apalagi ditengah situasi penjajahan yang represif.
Mereka mulai memecahkan persoalan mendasar dengan solusi yang tepat, dengan kerja nyata. Ketika sekolah hanya diperuntukkan bagi warga asing dan kasta priyayi. Jika hak pendidikan dipelakukan berdasar kelas sosial, bagaiman dengan soal gender? Kartini punya ide di tahun 1904 mendirikan ‘sekolah kecil’ untuk perempuan di rumahnya, Dewi Sartika mendirikan sekolah “Khusus untuk perempuan” tahun 1905 di Bandung. Berevolusi hingga di tahun 1912 pertama kali didirikan organisasi ‘Putri Mardika’ sebagai wadah perjuangan kaum perempuan.
Dan dihari ini, di melenium ketiga, ditahun 2007, waktu 103 tahun sejak Kartini, 104 tahun sejak Dewi Sartika, mulai berpikir dan bertindak menyelamatkan perempuan dari kebodohan dan kepapaan. Prestasi perempuan memang telah menjangkau satelit dan antariksa, merambah sektor publik; sebagai wirausahawati, menteri bahkan presiden atau posisi ‘kunci’ lainnya yang sangat strategis.
Boleh jadi mereka adalah yang telah tercerahkan, telah menikamati terbit-nya terang. Tapi gelap masih belum sepenuhnya tersingkap dari jagat perempuan kita. Masih ada kebodohan, kepapaan, kekerasan, eksploitasi dan juga salah tafsir terhadap kata emansipasi, feminisme dan perjuangan kesederajatan. Padahal secara kodrati Feminitas punya dimensi sendiri dan tak perlu dibenturkan dengan Maskulinitas, karena tak mungkin, absurd dan salah alamat.
Tuhan tentu punya konsep sendiri mencipatakan laki-laki dan perempuan, selain untuk reproduksi agar peradaban tak berhenti, juga untuk keseimbangan. Barangkali ketika dua kutub mulai berpikir mengembangkan potensi dirinya dalam interaksi tanpa dikotomi maka keseimbangan pasti lebih tercipta dan peradaban bisa bergerak tanpa hasrat mengeksploitasi satu sama lain, atau mengeksploitasi dirinya sendiri.
Di bulan ini, April 2007, saya sering melihat seorang Ibu penyapu jalan disetiap menjelang subuh, menyapu jalan antara depan bekas Hotel Merdeka hingga Jalan Manonutu Ternate, menyapu dari ‘gelap’ subuh hingga terbitnya ‘terang’ matahari. Gadis-gadis kecil dengan baju lusuh, menadah tangan di emperan toko, lalu kuingat Ibuku, Ibu Kawan-kawanku, para Ibu nan sederhana dan tulus. Lalu melintas ‘terang’ wajah Bu Mega, Bu Shinta Nuriyah Wahid, Marwah Daud, Nursyahbani Katjasungkana, Sri Mulyani, Ratna Sarumpaet. Kuingat juga ‘gelap’nya hidup perempuan malam dengan wajah kelelahan, atau seorang Tiara Lestari yang berani pose “bugil” di majalah PlayBoy , juga perempuan pedagang buah dan rempah, yang menunggu angkutan kota di tepi jalan di tiap sebelum subuh. Atau, Jasih, seorang Ibu 39 tahun yang membakar diri dan anaknya Galuh usia 4 tahun yang menderita kangker otak dan tak sanggup diobti, karena miskin, tak bisa bayar utang akhirnya frustrasi. Lalu kuingat R.A. Kartini, kuingat kalimat itu; Habis gelap terbitlah terang. Karena antara gelap dan terang masih ada gap, ada jarak yang tak mudah disisipi dengan kata terbit. M.Sofyan Daud