Jumat, 25 Juli 2008

Strategi Penguatan Kelembagaan Adat


Panitia Legu Gam 2008 menghelat Semiloka bertema; “Masyarakat Adat dan Perumusan Negara, Strategi Penguatan Kelembagaan Adat dalam Regulasi Daerah”. Ini bagian dari rangkaian acara Legu Gam yang berlangsung Sabtu, 12 April 2008, di Amara Hotel Ternate. Semiloka ini bertujuan menghasilkan rekomendasi tentang idealitas pemerintahan daerah kedepan juga poininter rumusan sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Peraturan Daerah, termasuk tentang Desa di Ternate. Semiloka yang mendaulat 4 (empat) narasumber berkompiten dan dihadiri elemen kemasyarakatan dan Pemuda, akademisi, serta tokoh-tokoh adat Maluku Utara yang berjumlah lebih dari 250 orang. Kegiatan ini menarik minat para peserta yang mengajukan beragam pertanyaan sebagai respon atas pemaparan para narasumber. Sultan Ternate, Drs. H. Mudaffar Sjah, Bc.Hk memaparkan secara luas tentang “Sejarah Hukum Adat dan Lingkungan Hukum Adat Moloku Kie Raha” (Maluku Utara). Menurutnya, masyarakat adat di Maluku Utara mempunyai pranata kelembagaan adat yang terdiri atas Kolano (Sultan) sebagai pemimpin, Kedaton sebagai pusat pemerintahan adat dan budaya serta Balakusu se Kano-kano sebagai rakyat, telah hidup damai sejak dahulu kala karena didasarkan pada sandaran hukum adat yang disebut Falsafah “Jou se Ngofa Ngare”. Drs. Samsul Widodo, MA (Direktur Kawasan Kawasan khusus dan Daerah Tertinggal Bappenas) berfokus pada aspek Perencanaan dan Penyusunan Program Berbasis Perdamaian (Peran Masyarakat Adat Dalam Perumusan Kebijakan). Dikemukakan bahwa peran strategis kelembagaan adat tidak sekedar melestarikan budaya nasional melainkan juga ikut mendorong penguatan “kearifan lokal” sebagai modal sosial pembangunan (katalisator dalam masyarakat, instrumen pelestarian lingkungan serta menciptakan harmoni dan integrasi masyarakat dengan berbagai hukum adatnya. Herman Oesman, Msi. (Dosen UMMU Ternate) menambahkan informasi seputar Masyarakat Adat dan Pembangunan di tengah Komodifikasi atas Tanah. Menurutnya, paradigma pembangunan dalam bentuk industrialisasi hutan, laut juga lahan pertanian, membuahkan pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat adat dan pendukung tradisi. Tanah telah menjadi komodifikasi bagi pembangunan, yang berpotensi meminggirkan hak-hak masyarakat adat. Pada posisi ini, harapan munculnya pertemuan antara tradisi dan pembangunan untuk melahirkan landasan dan prinsip keadilan serta perdamaian, ternyata tidak pernah terwujud.Di bagian akhir, King Faisal Sulaiman, SH dari LBH Malut menggunakan contoh kasus sengketa agraria dimana terdapat banyak tanah adat dan sejumlah hak ulayat lainnya yang digarap dan digunakan untuk kepentingan pembangunan daerah secara sepihak dan menimbulkan kerugian secara materil bagi masyarakat adat. Contoh Tanah Ulayat faktanya telah tersingkirikan secara sistematis. Masyarakat adat bahkan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan penting berkaitan dengan esksitensi hak-hak ulayat tersebut. Konflik masyarakat adat Ternate dengan pemerintah yang tak kunjung usai hingga sekarang terkait penggunaan tanah adat untuk kepentingan perluasan bandara Sultan Babullah, merupakan salah dari sekian banyak persoalan hak ulayat yang terdapat di wilayah Kesultanan Ternate. Kesimpulan akhir dari Semiloka ini ialah: Pertama, terpinggirnya masyarakat adat dari gempita kemajuan modernitas tidak terbatas pada hak-hak mereka terhadap tanah atas nama pembangunan tetapi lebih dari itu yaitu hilangnya identitas lokal dan rasa percaya diri mereka. Kedua, ancaman bagi kelembagaan adat adalah dapat digunakan sebagai alat politik kekuasaan serta munculnya “ego” kedaerahan yang berdampak pada konflik horisontal. Ketiga, tantangan ke depan adalah rendahnya kapasitas masyarakat adat (peran inisiasi, bukan mobilisasi), serta penyesuaian sistem dan budaya adat dengan perkembangan jaman.

Tidak ada komentar: