Jumat, 25 Juli 2008

Partai Islam, Perlu Pergeseran Paradigma


PERJALANAN partai-partai politik di Indonesia mengalami pasang surut yang luar biasa dalam beberapa tahun ini. Selain kepedulian terhadap konstituen (baca: masyarakat), juga partai politik ternyata lebih menyisakan kecenderungan untuk memperjuangkan kepentingannya. Alih-alih, partai politik senang “bertarung” dalam tataran wacana kekuasaan, dan jarang memasuki wilayah yang selama ini menjadi kebutuhan masyarakat.
Bagaimana dengan partai-partai Islam? Bisa dikatakan setali tiga uang, berbagai performance politik yang ditampilkan, termasuk komunikasi politik masih berada dalam “perebutan” hegemoni untuk mendulang simpati masyarakat. Kita cenderung menafikan gebrakan partai politik Islam yang santun bersuara dan bergerak pada tataran terbawah untuk melakukan pendampingan terhadap berbagai penderitaan yang dialami masyarakat.
Kecenderungan lain yang muncul adalah tampilnya konflik secara internal yang tidak mampu ditata-kelola para politisi secara lebih berenergi bagi keberlangsungan program-program partai. Partai hanya dikenal masyarakat ketika geriap pesta politik digelar. Setelah itu, partai seperti kehilangan nuansa, sunyi dan seolah-olah mati suri. Program-program yang diancangkan dalam berbagai rapat kerja atau pun juga “fatwa” kandidat yang hendak memimpin satu partai politik terkadang tak mampu terlihat nyata ketika partai itu berkibar.
Pada konteks ini, peran partai politik –termasuk berlabel Islam—sudah semestinya dikelola lebih pada konteks sosial, artinya, partai sudah waktunya digeser untuk tidak lagi melihat kepentingan masyarakat dalam skope yang lebih sempit, hanya berdasarkan ideologi yang ada. Karena sekali lagi, partai hanyalah sebagai alat agregasi dan penyalur aspirasi masyarakat untuk tujuan politik mereka yang lebih mulia, yakni bagaimana mereka dapat menggenggam harapan-harapan, bukan menggenggam mimpi-mimpi. Yang terjadi, adalah partai justru menjadi alat kepentingan elit untuk meraih harapan-harapan sesaat melalui kekuasaan. Di sini yang harus diantisipasi adalah bermainnya kelompok oligarkhi dalam partai politik Islam, ketika kepentingannya tidak terwujud, dan masyarakat menjadi legitimator untuk “merestui” kepentingannya. Bila konteks ini terjadi, apa bedanya partai politik Islam dengan lintah darat ?
Menurunnya kecenderungan terhadap partai-partai politik, termasuk partai politik Islam, sudah harus ditafsir bahwa partai-partai politik mengalami dilema paling akut, yakni mulai menipisnya kepercayaan politik masyarakat. Untuk itu, gaya dan metode yang selama ini selalu diagungkan partai politik Islam harus dirubah, harus ada shifting paradigm (pergeseran paradigma), bahwa partai politik Islam, semata-mata untuk kemaslahatan ummat dan masyarakat, bukan untuk kepentingan elit. Dalam konteks ini, maka, kehadiran partai politik Islam harus terus dikawal, ditata-kelola dan diperbaiki, sehingga dapat menjadi alat politik paling efektif untuk memperjuangkan kepentingan ummat dan masyarakat.


GENTA UTAMA

QUO VADIS PARTAI ISLAM?

Mengapa partai Islam kalah dalam setiap pemilu, pasca 1955? Apakah karena banyaknya partai Islam? Ataukah figur dari kalangan Islam yang kalah populer dengan partai di luar ideologi Islam. Ataukah ada faktor “x” yang melatarinya?

Apa yang sesungguhnya sedang terjadi pada umat Islam di negeri Muslim terbesar di dunia ini? Mengapa Islam tampak kurang kuat sebagai azas formal untuk menarik dukungan? Mengapa mayoritas Muslim justru mendukung partai-partai Nasionalis-Sekuler? Apakah fakta ini menunjukkan bahwa umat Islam semakin kurang percaya bahwa aspirasi mereka akan diakomodasi secara layak oleh partai-partai Islam; dan justru lebih yakin aspirasi itu akan terakomodasi oleh partai-partai non Islam? jika memang ketidakpercayaan semacam itu, apa penyebabnya? apakah karena para politisi islam yang mewakili partai-partai itu dianggap tidak kredibel, baik secara moral, intelektual maupun teknikal?
Pertanyaan-pertanyaan itulah yang acapkali mencuat dan menjadi bahan diskusi dan pembahasan di kalangan intelektual muslim. Padahal sejarah kebesaran partai Islam di Indonesia tidak terlalu mengecewakan. Pertarungan Pemilu 1955 bisa dirujuk sebagai bukti kejayaan partai Islam masa lalu itu. Dimana empat besar partai Islam seperti Masyumi, Partai NU, PSII, dan Perti, memperoleh suara di parlemen sekitar 45,2 persen pada Pemilu yang oleh para indonesianis dianggap sebagai pemilu paling demokratis.Perolehan suara ini masih dibawah partai nasionalis plus partai non-Islam yang memeproleh 54,8 persen. Fenomena ini kemudian terulang lagi pada pemilu 1971; NU memperoleh suara 18,67 persen, Parmusi 7,36, PSII 2,39 dan Perti 0,70 persen. Sementara dari partai nasionalis plus Golkar, 62,8 persen, PNI 6,94, Parkindo 1,34 dan Partai Katolik 1,11 persen. Bahkan dalam Pemilu 1977 –setelah fusi- 1973 perolehan suara kelompok Islam lewat PPP merosot 29,3 persen. Dan kemerosotan ini tetap berlanjut dalam pemilu-pemilu selanjutnya 1982 (27,8 persen), dan 1987 16,0 persen) dan dalam pemilu Orde Baru terakhir PPP mampu menaikkan suaranya dari 16 persen (1992) menjadi 22 persen.
Majalah TEMPO edisi 04-03-2004, menulis, bagi politisi Islam, sumber utama merosotnya popularitas partai Islam sepanjang Orde Baru dibanding pada masa demokrasi parlementer tahun 1950-an adalah otoritarianisme Orde Baru. Bukan hanya di jajaran elite Golkar, di jajaran elite PPP pun agenda utama yang harus mereka lakukan adalah bagaimana caranya agar disukai Soeharto dan mendapat dukungannya. Represi rezim Soeharto ini menutup kesempatan bagi karier politik warga, termasuk mereka yang berlatar belakang santri, kecuali lewat Golkar dan birokrasi. Akibatnya, Golkar dipenuhi bukan saja oleh mereka yang berlatar belakang sekuler tapi juga yang berlatar belakang santri karena, hanya dengan menjadi bagian dari kekuatan politik Orde Baru tersebut, karier politik mereka relatif terbuka. Rasionalitas kekuasaan pada akhirnya mengalahkan sentimen dan solidaritas politik Islam. Pertanyaannya, apakah hanya karena represi Orde Baru—sehingga bila represi tersebut berakhir, politik berasas Islam kembali menguat?
Pemilihan Umum 1999, tulis TEMPO, yang secara umum dinilai demokratis, merupakan tes pertama terhadap kesungguhan umat Islam Indonesia terhadap politik sekuler. Dalam Pemilu 1999, muncul kembali sejumlah partai berasas Islam. Di antaranya adalah PPP, PBB, dan Partai Keadilan. Tapi juga muncul partai baru yang berbasis sosial Islam tapi berasas non-Islam, yakni PKB dan PAN. Sebagaimana telah kita ketahui, total perolehan suara dari tiga partai yang berasas Islam tersebut hanya sekitar 14 persen, atau sekitar 17 persen kalau partai-partai berasas Islam lain dimasukkan ke dalamnya. Proporsi perolehan suara seluruh partai berasas Islam ini tidak jauh berbeda dengan yang diperoleh PPP setelah NU keluar dari partai tersebut. Jadi, tidak ada perbedaan signifikan dalam perolehan suara partai Islam, baik pada masa rezim otoritarian maupun rezim demokrasi.

Apa yang Salah dari parpol Islam?
Menurut almarhum Kuntowijaya dalam artikelnya di harian Republika (1 Juni 1999) umat Islam kebingungan karena banyaknya partai Islam. Dengan kata lain, umat dibuat bingung oleh elitnya sendiri. Ini juga diakui oleh Khamami Zada (Republika, 24 April 1999) yang mencoba meneropong problem empiris politik Islam. Yakni, problem pertama, adalah kemajemukan kelompok Islam, PKB(?), PAN (?), PBB, PUI, PKS, PSII, Masyumi Baru, PKU, PNU dan parpol senafas. Mereka adalah partai-partai yang berazaskan Islam, atau minimal konstituennya Muslim. Mengapa mereka tidak mendirikan satu wadah partai Islam saja? Kenapa satu Islam, banyak partai? Bukankah mereka satu keyakinan agama (Islam) dan sasaran perjuangannya untuk umat Islam? Dimensi kemajemukan inilah yang mengakibatkan kelompok-kelompok Islam tidak (bisa) bersatu dalam wadah parpol, mengingat keragaman kepentingan dan perjuangannya. Kedua, akibat kemajemukan ini sangat rentan terhadap potensi konflik akibat polarisasi kepentingan politik yang ingin diraih masing-masing partai Islam. Pada wilayah ini, ukhuwah islamiyah (solidaritas Islam) sudah tidak tercermin secara nyata.
Ketiga, politik Islam di Indonesia secara umum belum berhasil mencapai efektivitas politik. Kondisi ini disebabkan oleh tidak adanya seorang pemimpin pemersatu. Umat Islam tidak memiliki seorang pemimpin yang bisa diterima semua kelompok. Keempat, adanya estimasi yang berlebihan dari partai-partai Islam dengan jumlah mayoritas umat Islam. Padahal secara empiris-historis, meskipun jumlah umat Islam mayoritas, partai Islam tidak pernah memenangkan pemilu. Fenomena ini sepatutnya disadari oleh elit politik Islam; Bahwa jumlah mayoritas bukan jaminan memperoleh banyak suara. Karena umat islam kini semakin rasional dalam memilih partai, tidak lagi hanya karena primordialisme (agama).
Hampir senada dengan itu, menurut Darsis Humah, Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU) kelemahan Parpol Islam karena faktor internal partai. Banyak perpecahan mulai tingkat DPP sampai pada level DPC. Selain itu, tokoh partai Islam tidak menunjukkan moralitas Islam yang sesungguhnya. Bukan rahasia lagi, banyak anggota legislatif yang sebagian memang baik moralitasnya, tapi sebagian hanya terkungkung pada urusan ‘uang’ dan urusan ‘perempuan’. Itu membuat mereka lemah. Ini juga karena ketiadaan ideologi yang kuat dan pemahaman ke-Islamannya tidak mencerminkan sebagai figur ulama. Partai Islam dalam konteks lokal, tidak pernah mengartikulasikan kepentingan masyarakat bawah, seperti kekurangan pangan, kelangkaan BBM. Partai politik tidak pernah mendiskusikan soal ini. Mereka tidak pernah menyundul persoalan pendidikan yang mahal, atau pelayanan kesehatan yang buruk.
Soal membangun komunikasi bersama antar partai Politik Islam menurut Darsis kalau orientasinya bertumpu pada kekuasaan tidak perlu. “Untuk apa bicara kepentingan umat. Selama ini masing-masing partai Islam ingin cari selamat sendiri, “sergahnya.
Tak beda jauh dengan Darsis, Herman Oesman salah satu staf pengajar sosiologi UMMU melihatnya dari sisi manajemen partai yang tak pernah menyentuh kepentingan bawah, terutama aspirasi masyarakat Islam. Yang kedua, partai plitik Islam lebih pada orientasi kekuasaan. Dan Parpol Islam harus membangun trust. Kepercayaan dan komitmen dari partai Islam terhadap masyarakat Islam itu sendiri.
Sementara itu menurut Eep Saefulloh Fatah, Dosen UI, kalangan Islam terutama partai Islam sudah harus mengakhiri kekeliruan selama ini. Ada 25 kekeliruan yang dialami kalangan Islam (lihat Box).

Mempersatukan Politik Islam, Mungkinkah?
Umat Islam sebagai mayoritas di Indonesia harus semakin disadari menyimpan potensi yang kuat dalam membangun bangsa dan negara, nation building, bukannya dimanfaatkan untuk komoditas politik. Peran aktifnya adalah pembangunan. Maka resepnya adalah bersatu atau dalam bahasa agama disebut, ukhuwah. Bukankah Nabi pernah mengingatkan kepada kita, Ummat Islam terhadang oleh Islam sendiri? Bukankah kekalahan perang Uhud disebabkan tidak bersatunya itikad umat islam sendiri?
Partai Islam harus diyakinkan kembali pentingnya inklusivisme politik Islam. Yakni, partai-partai Islam tidak hanya memperjuangkan kepentingan umat Islam semata, tapi juga untuk kepentingan semua umat beragama secara menyeluruh. Dalam bahasa agama disebut rahmatan lil’alamin.

Tim (berbagai sumber)

Parpol Islam; Formalisme, Substansial dan Godaan Kekuasaan

Banyak tokoh Islam terhenyak, ketika pada era 1970-an, Cak Nur – panggilan akrab almarhum Nurcholish Madjid - melemparkan jargon Islam Yes, partai islam no. Yang merasa terpukul saat itu adalah Partai besar Masyumi. Karena bagi Masyumi, jargon yang dilontarkan itu tak menguntungkan secara politis bagi partai berlambang bulan bintang itu. Alasan itu sangat wajar karena Masyumi merupakan saluran dan aspirasi politik umat Islam waktu itu.
Tapi kemudian, jargon itu sepertinya membuktikan, kalau Partai Islam pasca pemilu 1955 dan sampai pada tahun 2004 kemarin, tak mendulang suara signifikan di parlemen. Malah sebaliknya menurun hingga level yang sangat dramatis. Masih untung wajah umat Islam diselamatkan oleh PPP dan PKS yang meski lolos electoral threshold (ET) tapi tetap tak bisa mengimbangi suara partai nasionalis. Apakah ini pertanda umat tidak lagi mementingkan simbol atau perlambang, melainkan isi dan substansi?
Hajriyanto Y. Thohari, politisi Golkar dan mantan ketua PP Muhammadiyah dalam tulisannya di majalah GATRA edisi 21, 10 April 1999, memberikan beberapa argumen. Pertama, proses deformalisasi atau desakralisasi partai-partai Islam diam-diam terus berlangsung secara signifikan, seiring dengan dinamika intelektualisme Islam yang berkembang sangat dahsyat sejak beberapa decade terakhir. Jumlah umat yang makin progresif dan liberal dalam memahami doktrin Islam tentang politik makin meningkat tajam : tidak lagi bersifat legalistic, formalistik, dan simbolistik, melainkan lebih substansialistik.
Akibatnya identifikasi politik umat Islam terhadap partai Islam tak lagi taken for granted seperti tempoe doeloe. Malah meski gradual, cenderung makin permisif. Mafhum mukhalafah-nya, dalam bahasa Cak Nur dan murid-murid protagonisnya: penganut “Islam, yes; partai Islam, no” seperti yang telah disentil diatas, kian hari kian bertambah, karena hadirnya kesadaran bahwa yang penting adalah substansi, bukan formal.
Kedua, tidak seperti pada dekade 1950 tatkala perbedaan antara partai Islam dan yang “sekuler” tidak lagi signifikan. Dari segi platform dan figur kepemimpinan, rasanya sulit mencari perbedaan keberislaman antara partai –partai Islam dan partai-partai sekuler. Golkar, misalnya kini bukan hanya tampil dengan paradigm dan visi baru –antara lain memahami doktrin karya kekaryaan sama dengan konsep amal salih dalam Islam-melainkan juga dipimpin banyak kader bangsa yang memiliki social origin gerakan Islam. Beberapa elit partai Golkar adalah aktivis dengan latar belakang organisasi ekstra mahasiswa Islam seperti HMI, pemuda Muhammadiyah dan sejenisnya.

Formalisme, Substansial dan Godaan Kekuasaan
Menurut Thohari, kesadaran politik umat semakin dewasa, tidak lagi mudah silau dan terpedaya dengan simbol-simbol eksoteris. Partai apapun, bahkan yang berjubah Islam sekalipun, akan diuji kesejatiannya: apakah mereka menjadikan Islam hanya sebagai basis solidaritas politik untuk memobilisasi dukungan yang berarti memobilitisasi agama, ataukah penegak nilai-nilai universal Islam yang sejati. Politisasi agama berarti mendistorsikan agama menjadi sekedar komoditas politik, atau alat legitimasi pencapaian kepentingan politik terbatas.
Bagi Thohari, kepedulian umat kini agaknya lebih substansial, yakni tegaknya nilai-nilai ideal menurut Islam, seperti keadilan, persamaan, dan demokrasi. Bukan lagi pada simbol-simbol hasil manipulasi para demagog.
Sementara menurut almarhum Kuntowijaya (Republika, edisi 1 Juni 1999) secara eksternal dalam urusan kebangsaan, umat harus; menggantikan cara berpikir berdasar polarisasi (pengkutuban) antara Islam versus Sekuler” menjadi cara berpikir berdasar range (rentang) di mana ada partai berasas Islam, ada partai berdasar objektivitas, ada partai berdasar spasialisasi dan ada partai sekuler. Kebiasaan cara berpikir “kita lawan mereka” atau “we lawan they” perlu digantikan dengan we lawan it” dengan kata lain, bangsa ini bersama-sama sedang menghadapi banyak masalah, seperti kemiskinan, kesenjangan, demokratisasi, penegakan hokum, dan sebagainya. Umat Islam (we) adalah bagian bangsa yang tengah dirundung masalah (it). Musuh Islam bukan orang, tapi permasalahan. Musuh partai Islam dan partai bernuansa Islam bukanlah partai non Islam, tapi problematika bangsa. Islam tidak akan maju-maju selama umat masih beranggapan bahwa musuh besarnya ialah kelompok lain (Muslim dan Non Muslim), dan lupa bahwa ada masalah yang meminta perhatian sungguh-sungguh. Seluruh energi ditumpahkan untuk memerangi “musuh palsu” yang sebenarnya bukan sasaran, sehingga ketika menghadapi “musuh” yang sebenarnya energi sudah habis.
Makanya menurut Darsis Humah, Dekan Hukum Fakultas Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU) yang juga magister di bidang hukum tata Negara UI, ini sangat menyayangkan, partai Islam tak satupun yang berkomentar ketika terjadi kelangkaan BBM, harga beras naik dan persoalan-persoalan lain yang dihadapi masyarakat. “Mereka terlalu sibuk dengan momen pemilihan gubernur, pemilihan bupati/walikota. Padahal fungsi partai politik itu bagaimana bias mengagregasi dan mengartikulasi kepentingan masyarakat,”tandasnya kepada CADIK.
Bukan hal baru kalau partai politik Islam hanya mengejar kekuasaan. Dan ini juga diakui oleh Azumardi Azra,mantan IAIN Syarif Hidayatullah –sekarang Universitas Islam Negeri- mengutip Panji Masyarakat edisi 23 Juni 1999 mengatakan, “Saya melihat kemunculan banyak partai sekarang ini disebabkan persoalan kekuasaan saja, bukan persoalan khilafiyah atau furu’iyah. Islam di Indonesia kalau kita mau sederhanakan, kan hanya terdiri dari dua sayap, yaitu yang biasa disebut tradisionalis dan yang kedua biasa disebut modernis-reformis. Mengapa begitu banyak partai di kalangan yang sama, menurut saya, karena banyak sekali yang mau jadi jenderal, tapi tak ada yang mau jadi kopral. Ringkasnya, kemunculan banyak partai Islam sekarang ini betul-betul karena motif politik, bukan karena motif agama,”
Kondisi tersebut lanjut Azra menggunakan istilah Cak Nur, elit Islam di sini membentuk partai lebih didorong oleh semangat persaingan politik, pengaruh, dan sekaligus persaingan merebut kekuasaan, tapi kemudian gagal meraih dukungan umat Islam.
Nah, bagi Cak Nur sendiri, menilai kegagalan partai-partai yang mengaku Islam adalah kegagalan simbol dan ini juga dialami oleh Partai Nasionalis Indonesia.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana prospek parpol Islam pada Pemilu 2009? Kita lihat saja apakah semakin terpuruk ataukah mampu meraup dukungan umat . Tim (berbagai sumber)

Momen
Menimbang Nasib Kartini
Peran perempuan masih banyak terpinggirkan. Karena kuatnya budaya patriarkhi. Apakah Perempuan belum diberi peran ? Ataukah keberpihakan pemerintah belum maksimal ?

Sejak jam 03.00 pagi buta, perempuan paruh baya itu berangkat dari rumah. Kadang dengan mobil penumpang atau ojek dari tempat tinggalnya yang berjarak sekitar 5 km arah utara kota Ternate. Sesaampai di tujuan, perempuan itu mengeluarkan peralatan sederhana. Sapu. Tugasnya membersihkan sepanjang jalan Sultan Khairun yang terletak di kelurahan Makassar Timur. Ketika –habis gelap, terbitlah terang– perempuan itu sudah menyelesaikan kerjanya, lalu pulang ke rumahnya.
Setiap pagi perempuan paruh baya (42 tahun) bernam nama Ratna itu menjalani hidup sebagai penyapu jalan. Ratna tak sendirian. Banyak yang memiliki nasib seperti dia. Perempuan-perempuan yang bekerja pada sektor informal. Mulai dari penyapu jalan, penjual ikan, dan sejenisnya.
Lain lagi dengan, sebut saja Bunga (27) yang harus melayani lelaki hidung belang setiap malam. Perempuan muda yang berprofesi sebagai PSK ini menjalani hidup karena desakan ekonomi keluarga. Ia tak memiliki pendidikan memadai dan tak punya keterampilan khusus untuk bekerja. “Satu-satunya” jalan untuk bertahan hidup, janda 2 anak ini harus rela menjadi PSK. “Kalau saja saya punya ketrampilan, saya akan berhenti menjadi PSK dan menjalani hidup normal, tapi,……(ucapannya terhenti karena ia menyinggung pemerintah tak pernah tahu nasibnya)
Ratna dan juga Bunga adalah satu dari sekian banyaknya perempuan yang menjadi perjuangan Kartini yang setiap 21 April diperingati bangsa Indonesia. Perjuangan untuk membela hak-haknya sebagaimana yang dilakoni mitranya, kaum laki-laki. Toh nasib kaum perempuan tak banyak berubah. Padahal hari Kartini dimata Wardah Amelia Amal, penulis dan wiraswastawati, merupakan tonggak pembaharuan bagi lebih majunya kaum perempuan dalam banyak hal. “Di Maluku Utara, menurut saya, kemajuan perempuan sangat lambat. Kurang gemanya, dan nasibnya masih terpinggirkan. Kadang karena perempuannya sendiri yang tidak ada kemauan untuk maju, Dan kadang karena laki-laki yang menghambatnya. Budaya sini belum kondusif,”cecar, adik penulis Taufiq Adnan Amal ini.
Untuk itu, menurut Wardah, perempuan harus mengejar ketertinggalannya. Walaupun dalam beberapa hal perempuan lebih unggul. Ini bukan sekedar masalah persamaan hak dan kewajiban, karena laki-laki kadang tidak ikhlas berbagi hak. Perempuan harus menjadi manusia yang terus maju dari hari ke hari dan harus terus merubah dirinya lebih positif.
Sementara bagi pejuang kesetaraan gender, M. Rahmi Husen, perjuangan Kartini pada masanya hingga kini terus memberi inspirasi yang bukan hanya pada perempuan tapi juga bagi laki-laki. Alasannya, karena keadilan dan kesetaraan yang saat ini menjadi isu penting dan strategis bagi perjuangan perempuan di Indonesia, termasuk parampuang di Maluku Utara, hanya bisa tercapai kalau dua pihak ini (terutama laki-laki) saling bekerjasama dan menghargai. Khusus di Maluku Utara, perhatian pemda provinsi dan seluruh pemda Kabupaten/Kota terhadap isu-isu perempuan sungguh-sungguh masih kurang. “Yang dipikirnya, dengan memfasilitasi PKK atau Dharma Wanita itu sudah menjawab kebutuhan dan kepentingan perempuan. Ini cara berpikir model lama yang masih saja tetap diawetkan hingga kini, “imbuh ketua KPU Provinsi Maluku Utara ini.
Rahmi juga mengeritik peran pemerintah yang melupakan agenda-agenda strategis perempuan di Maluku Utara yang mestinya mendapat perhatian yang sungguh-sungguh. Antara lain keterpinggiran perempuan dari dunia pendidikan (mulai dari TK, SD, hingga Perguruan Tinggi). Yang kedua, akses kesehatan, terutama kesehatan reproduksi yang sangat buruk , akses yang rendah terhadap sumber daya alam, utamanya sumber-sumber ekonomi, keterkucilan perempuan dari dunia politik, masih kuatnya budaya patriarkhi, adat yang kurang toleran pada perempuan dan penafsiran agama yang sering mendiskriminasi perempuan. Begitu juga dengan tingkat kekerasan dalam berbagai bentuk yang cenderung meningkat, APBD yang melupakan kepentingan dan kebutuhan perempuan, dan lain-lain.
Sementara soal kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Maluku Utara menurut Mantan Ketua Umum HMI Cabang Ternate, Mariyam Mahmud yang diulasnya dalam opini (Malut Post, 23 April) Ibarat gunung es. Yang muncul kepermukaan hanya sebagian kecil. Karena malu melapor akhirnya didiamkan. Karena kasus KDRT masih ditangani oleh aparat laki-laki yang membuat korban merasa malu dan tak mau terbuka dalam menceritakan kasus yang dialaminya. Tak hanya itu KDRT kurang mendapat bantuan hukum dari tenaga paralegal dan pengacara yang tidak memungut biaya dan berempati terhadap kekerasan yang dialami perempuan.
Mestinya ungkap Rahmi, “hari Kartini dirayakan dengan cara kita faduli dengan mendesain program yang fokusnya untuk ikut mengatasi berbagai problem yang dihadapi perempuan Maluku Utara saat ini dan kedepan,”tambahnya.
Soal “perayaan” juga diakui Nukila Amal, penulis yang telah menelorkan dua novel bernas; Cala Ibi dan Laluba. Menurutnya, peringatan hari Kartini ini sangat perlu sebagai momentum untuk menciptakan kesadaran dan tindakan-tindakan kolektif tertentu. Misalnya hal-hal yang berkaitan dengan ke-perempuan-an di hari Kartini, meskipun bagi dia secara pribadi, hari Kartini tidak ada artinya.
Nukila benar, bahwa hari Kartini tidak ada artinya bagi dirinya, karena Ratna, perempuan penyapu jalan itu juga tak pernah tahu apa sesungguhnya hari Kartini. “Saya hanya dengar dan lihat di TV,” katanya lugu kepada GENTA yang menemuinya pukul 04.00 subuh (23/4). Tapi satu permintaan Ratna, ”kalau boleh, pemerintah perhatikan pa kitorang.” lirihnya. (yudhi).

TERAS

Terbit

satu metafor, tentang awal dari harapan, dari yang cemerlang dan bersinar, dan oleh karenanya ia menjadi dambaan untuk mengantarkan proses atau transisi dari yang redup ke yang bersinar, dari yang gelap ke terang. Ia adalah kata‘terbit’.
Matahari terbit menyingkap malam dan pagipun tumbuh, gelap terhalau. Lalu alam, manusia dan makhluk Tuhan lainnya menggeliat, menempuh hidup menuju harapan yang lebih baik. Barangkali karena spirit itu (RA) Kartini, menulis Habis Gelap Terbitlah Terang. Risalah tentang obsesi Kartini muda, mengubah warna dan image perempuan kita (saya dan anda) dari “kepapaan”, ketertindasan menjadi lebih bermartabat. Emansipasipun kemudian jadi resep ‘cukup’ manjur untuk obsesi itu. Kata ”cukup” ditambahkan di sini sebagai catatan bahwa tidak semua dari obsesi Kartini mampu mengubah “wajah” perempuan kita lebih bersinar, lebih terang. Karena bahkan Kartini dan Ibunya pun kurang terlalu ‘beruntung’ dengan pengalaman dalam berumah tangga mereka. Manajemen rumah tangganya yang patriarchies.
Sejarah tak lagi banyak mencatat kisah pendekar emansipasi ini dalam kurun waktu itu. Mungkin sejarah tak “berani” mengungkap sisi lain, sisi kemanusiaan dari seorang berstatus “hero”. Padahal kemanusiaan kita dekat dengan lemah, khilaf, jenuh, dan sebagainya.
Meskipun begitu, perempuan seperti Kartini, Dewi Sartika, Cut Nyak Dhien, Cut Mutiah, Nyi Ageng Serang, dll mesti kita kenang dengan baik, karena ke-pelopor-an, keberanian, dan karena mereka memulai sesuatu yang bahkan tak sempat terpikirkan oleh kita. Apalagi ditengah situasi penjajahan yang represif.
Mereka mulai memecahkan persoalan mendasar dengan solusi yang tepat, dengan kerja nyata. Ketika sekolah hanya diperuntukkan bagi warga asing dan kasta priyayi. Jika hak pendidikan dipelakukan berdasar kelas sosial, bagaiman dengan soal gender? Kartini punya ide di tahun 1904 mendirikan ‘sekolah kecil’ untuk perempuan di rumahnya, Dewi Sartika mendirikan sekolah “Khusus untuk perempuan” tahun 1905 di Bandung. Berevolusi hingga di tahun 1912 pertama kali didirikan organisasi ‘Putri Mardika’ sebagai wadah perjuangan kaum perempuan.
Dan dihari ini, di melenium ketiga, ditahun 2007, waktu 103 tahun sejak Kartini, 104 tahun sejak Dewi Sartika, mulai berpikir dan bertindak menyelamatkan perempuan dari kebodohan dan kepapaan. Prestasi perempuan memang telah menjangkau satelit dan antariksa, merambah sektor publik; sebagai wirausahawati, menteri bahkan presiden atau posisi ‘kunci’ lainnya yang sangat strategis.
Boleh jadi mereka adalah yang telah tercerahkan, telah menikamati terbit-nya terang. Tapi gelap masih belum sepenuhnya tersingkap dari jagat perempuan kita. Masih ada kebodohan, kepapaan, kekerasan, eksploitasi dan juga salah tafsir terhadap kata emansipasi, feminisme dan perjuangan kesederajatan. Padahal secara kodrati Feminitas punya dimensi sendiri dan tak perlu dibenturkan dengan Maskulinitas, karena tak mungkin, absurd dan salah alamat.
Tuhan tentu punya konsep sendiri mencipatakan laki-laki dan perempuan, selain untuk reproduksi agar peradaban tak berhenti, juga untuk keseimbangan. Barangkali ketika dua kutub mulai berpikir mengembangkan potensi dirinya dalam interaksi tanpa dikotomi maka keseimbangan pasti lebih tercipta dan peradaban bisa bergerak tanpa hasrat mengeksploitasi satu sama lain, atau mengeksploitasi dirinya sendiri.
Di bulan ini, April 2007, saya sering melihat seorang Ibu penyapu jalan disetiap menjelang subuh, menyapu jalan antara depan bekas Hotel Merdeka hingga Jalan Manonutu Ternate, menyapu dari ‘gelap’ subuh hingga terbitnya ‘terang’ matahari. Gadis-gadis kecil dengan baju lusuh, menadah tangan di emperan toko, lalu kuingat Ibuku, Ibu Kawan-kawanku, para Ibu nan sederhana dan tulus. Lalu melintas ‘terang’ wajah Bu Mega, Bu Shinta Nuriyah Wahid, Marwah Daud, Nursyahbani Katjasungkana, Sri Mulyani, Ratna Sarumpaet. Kuingat juga ‘gelap’nya hidup perempuan malam dengan wajah kelelahan, atau seorang Tiara Lestari yang berani pose “bugil” di majalah PlayBoy , juga perempuan pedagang buah dan rempah, yang menunggu angkutan kota di tepi jalan di tiap sebelum subuh. Atau, Jasih, seorang Ibu 39 tahun yang membakar diri dan anaknya Galuh usia 4 tahun yang menderita kangker otak dan tak sanggup diobti, karena miskin, tak bisa bayar utang akhirnya frustrasi. Lalu kuingat R.A. Kartini, kuingat kalimat itu; Habis gelap terbitlah terang. Karena antara gelap dan terang masih ada gap, ada jarak yang tak mudah disisipi dengan kata terbit. M.Sofyan Daud

Tidak ada komentar: