Selasa, 05 Agustus 2008

Harga Wanita

Alloed Dahlan Chonoras
Sang ‘Pencinta wanita’ kini wartawan Malut Post''
Yang harus dipersiapkan oleh para ibu untuk menjamin masa depan anak perempuannya adalah kecantikan.'' Kata seorang Ibu.KALIMAT bernada ironi itu diucapkan seorang Tante, dalam obrolan ringan saat perjalanan kami dari Tidore ke Ternate. Tak sampai di situ, ia lalu melanjutkan tesisnya, ”Anak perempuan tidak perlu disekolahkan terlalu 'serius'. Yang perlu adalah, setelah dewasa, bagaimana membuat dirinya menarik, agar mendapat suami baik, mapan dan dapat menjamin kehidupannya di masa depan.''Rasanya ingin mencibir, mendengar statemen menohok itu. Naluri aktivisku muncul. Segala bacaan tentang feminisme, kesetaraan harkat dan martabat perempuan, dan ingatan seputar diskusi gender bergolak dalam kepala, ingin menyerang tesis nyeleneh si ibu itu. Lalu, setelah agak lama berpikir, aku pun sadari. Pernyataan tadi adalah ekspresi amat polos, dari seorang ibu rumah tangga lugu. Istri seorang eksekutif muda cukup mapan di Ternate. Mungkin Ia tidak pernah mengenyam referensi tentang gender dari buku, majalah, ataupun diskusi dan sejenisnya.Wacana feminisme memang tercover dalam majalah yang menjadi langganannya, tetapi baginya itu tidak terlalu menarik. Perhatianya tersita oleh berita selebritis dan seputar kriminalitas. Pandangannya terhadap relasi pria-wanita, barangkali lebih banyak terbentuk dari tangkapannya atas sajian sinetron sarat glamour dan sekadar urusan, cinta, cemburu, sedu -sedan, restoran, rumah dan mobil mewah. Dalam pergaulan modern, wanita memang realatif bebas. Bebas keluar rumah, menentukan nasibnya sendiri, bebas memilih pasangan hidup atau berkawan dengan siapapun. Tetapi tidak bebas dalam hal persepsi tentang kecantikan. Selamanya wanita akan memandang kecantikan adalah kehormatan, harga diri dan penentu masa depan. Cantik adalah hasil dari ''prosesi ritual'' dengan ramuan-ramuan serta body language yang lebih berharga dari barang apapun.Tapi ingat! Kecantikan dalam modernitas adalah konstruksi social. Dalam dunia kapitalis ia adalah komoditas. Kecantikan dikonstruk dalam parameter-parameter kelangsingan tubuh, kehalusan kulit dan keseronokkan penampilan. Kecantikan wanita jadi semacam “human resources” bagi profesi. Ia akan menjadi alat utama baginya untuk mendapatkan uang dan status sosial. Dengan kecantikannya wanita bisa, mempermainkan dan memanipulasi kesadaran pria untuk limbung dalam keelokan dan desire. Setelah itu seorang pria bertekuk lutut di hadapannya untuk mengorbankan segalanya, mungkin harta bahkan harmonitas keluarga, perasaan anak-istri.Uang mengalir ke kantong wanita melalui kerja keras seorang pria, dan wanita cuma membutuhkan alat “pelican” berupa “'kecantikan''. Begitulah kira-kira pandangan seorang naif yang terlalu frustasi dengan modernitas. Kapitalisme mampu mengontrol tiap sisi kehidupan manusia. Tak terkecuali gerakan feminisme, kesetaraan gender dan emansipasi. Semuanya telah menjadi komoditas yang dapat diperdagangnya untuk mendatangkan uang. Gerakan feminisme tak lebih dari sekadar kampanye para wanita agar berani mengagumi dirinya untuk kemudian menuntut kebebasan sebebas-bebasnya, termasuk hal-hal konsumtif. Lalu industri akan membuat iklan, menjual produk dengan dalih memenuhi kebutuhan wanita yang kini telah terkungkung dalam bayangan-bayangan kecantikan. Pria harus mempersembahkan gaji bulanannya untuk membelikan kosmetik bagi wanita, mengawali perjalanannya ke tempat kerja dengan mengantar wanita ke salon kecantikan, Spa, pedikur, manikur, dan mengisi waktu liburannya dengan shoping.Aku pun ingat puisi Joko Pinurbo, ''Aku cantik, Aku ingin tetap mempesona, Bahkan jika ia yang di dalam cermin merasa tua dan sia-sia''.Lalu dimana letak kehormatan wanita? (maaf) Bibir, dada atau paha? Atau sesungguhnya ada sisi lain yang lebih mulia dari itu, yang terkait deng martabat dan kehormatan, iner beauty, tapi luput ditonjolkan. Andai saja feminisme membela wanita pada alas yang lebih filosofis. Tentu selain samping advokasi terhadap women violence, juga mengkampanyekan nilai-nilai universal yang terkandung dalam sisi-sisi feminism, seperti prestasi, kecerdasan, kasih sayang, pengabdian, spiritualitas, kedamaian, perawatan, dan kelembutan. Sehingga tak ada lagi Oedipus yang membunuh ayahnya dan memperistri ibunya sendiri. Wallahu a’lam bisshawab.

Tidak ada komentar: